Jarak

Di ujung kota, di bandara hari ini, aku duduk didampinginya. Dia, orang yang mengaku bahwa cintanya untukku. Dia, gadis yang sebaya denganku. Dia, yang hari ini akan meninggalkanku
Jepang, merupakan Negara yang sedari tadi kami tunggu keterangan keberangkatannya muncul di layar besar bertuliskan nama nama Negara dan jadwal penerbangannya. Walaupun di tiket yang ia miliki menunjukkan pukul 14.00, kenyataannya jam tangan Rolex warna hitam yang ku kenakan menunjukkan pukul 10.00. Waktu yang cukup lama untuk dibuang hanya demi menunggu keberangkatan. Namun, itulah ritual yang kami lakukan saat ini.
Menuntut ilmu, adalah alasan kuat untuk gadis muslimah dengan jilbab warna abu abu yang lahir dengan bintang Taurus ini, untuk pergi ke negeri sakura. Jika bukan karena menuntut ilmu, aku takkan mengizinkannya pergi ke negeri orang. Tapi apa daya, keinginan kuatnya-lah yang membuat aku menyerah.
Tiga jam adalah waktu yang cukup lama, bila hanya dihabiskan dengan duduk sambil menunggu check-in di restoran yang cukup mahal ini. Bila mengingat bahwa saat ini adalah saat terakhir yang bisa kami habiskan sebelum kami berpisah, waktu terasa cepat sekali.
Perbincangan kami cukup panjang dan berbelit. Mengingat kami yang sudah sama-sama dewasa. Tidak seperti jaman kami SMA dahulu. Kami harus membuat komitmen satu sama lain, atau tidak sama sekali. Kami mulai dari nostalgia masa SMA, hingga pemikiran kami untuk masa depan. Dan tak terasa, air mata kami berdua jatuh.
Tak berapa lama setelah isak tangis diantara kami, terdengar suara seorang wanita yang tidak terlihat wujudnya. Suara itu berasal dari pengeras suara di sekitar kami. Pertama ia menjelaskan dengan Bahasa Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan Bahasa Inggris. Dengan ramah ia memberitahukan bahwa sekarang adalah waktunya check-in untuk penerbangan ke Negara yang pernah menjajah Indonesia dulu, Jepang.
Senang sekaligus sedih aku mendengar pengumuman itu. Aku senang karena yang kami tunggu akhirnya tiba. Aku sedih karena sebentar lagi aku harus melepaskannya. Dan yang aku takut, semakin lama aku bersama dia, semakin sulit aku berpisah dengannya.
Segelas kopi hitam pahit yang tadi kupesan sudah habis seiring dengan habisnya waktu bagi kami untuk bersama. Aku mulai berdiri, diiringi dengan gadis tersebut. Kami melangkah meninggalkan restoran yang menjadi saksi bisu pertemuan terakhir kami.
Gerbang A5 berada tak jauh dari kami. Di papan pengumuman tertulis bahwa keberangkatan internasional dengan destinasi Jepang harus check-in di gerbang A5. Dan batas pengantar hanya sampai disini saja. Selebihnya, hanya barang bawaan dan orang yang membawa tiket saja yang boleh masuk.
Sampai disini, aku sedikit menyesal, kenapa harus aku yang mengantarkannya pergi. Yang ada, hanyalah perasaan sedih. Aku harus rela ditinggalkan oleh orang yang aku sayangi. Meskipun aku tau, ia pergi untuk tujuan yang baik. Sakit tetap saja sakit.
Mata kami bertemu pandang, mengucap kalimat-kalimat yang sendiri tidak mengerti. Namun, kami paham. Paham akan sesuatu yang tidak bisa dimengerti. Dan kami tetap membisu.
Ucapan salam adalah satu-satunya kalimat yang meluncur dari mulut kami. Lalu, untuk terakhir kalinya ia raih tangan kananku yang hitam bila dibandingkan dengan warna kulitnya, lalu dicium. Sebagaimana ciuman penuh kasih sayang seorang istri kepada suami. Dan ia pun melangkah.
Langkah demi langkah perlahan kedua kakinya yang mengenakan sepatu Converse coklat itu, terasa begitu cepat bagiku. Mataku terus mengikuti kemana ia pergi dari kejauhan. Hingga dinding besar bertuliskan seruan untuk mencegah penggunaan narkoba menghalangi pandanganku atas dirinya. Setelah cukup aku merenungi kepergiannya, aku berlalu.
***
Kini, tinggal aku sendiri dan janji janji yang telah kami buat sebelum berpisah. Janji untuk setia, janji tetap mempertahankan komunikasi, hingga janji suatu saat kami akan bertemu lagi. Namun janji tetaplah menjadi janji, hingga itu semua terbukti.
Category:

0 comments:

Posting Komentar