Tak Akan Pernah Sama

Aroma parfum eau de toilette  yang mahal menyerbak dihembus kipas angin kamar, hingga sampai di hidung lelaki bertubuh tegap yang hampir sixpack itu. Alih-alih menikmati parfum tersebut, ia malah menutup hidungnya yang tidak begitu mancung. Menurutnya, bau parfum itu terlalu norak. Atau mungkin hidungnya saja yang tidak bisa menerima bau parfum semahal itu. Namun apa mau dikata, parfum itu adalah parfum favorit pacarnya. Mau tidak mau, ia selalu dan harus mengenakan parfum itu kemanapun ia pergi bersama pacarnya.
                Dengan setelan yang tidak casual, tidak klimis tidak juga keren, ia selalu tampil percaya diri. Seakan dia satu satunya lelaki di dunia yang akan selalu dilirik oleh berjuta wanita meskipun pakaian yang ia kenakan mendekati compang-camping. Tapi mungkin, ia dilirik bukan karena keren, melainkan penampilannya sudah seperti orang sakit jiwa.
                Ketika ia merasa sudah cukup dengan celana jeans belel dan kaos abu-abu bergambar monster favoritnya, ia pun melenggang meninggalkan rumahnya. Berangkat bertemu pacarnya.

Di sebuah kafe, terlihat seorang wanita berambut panjang sepunggung. Rambutnya indah seperti yang dikatakan oleh iklan shampoo ternama di Indonesia. Sehingga bila dia membutuhkan uang, tinggal mengibaskan rambut di depan kamera, dan banyak produk shampoo yang mengontrak dia sebagai model.
                Telepon genggamnya tak pernah luput dari penglihatannya. Seakan menunggu pesan singkat atau telepon dari seseorang, ia terus saja memeriksa. Walau tak satupun notifikasi masuk yang menandakan adanya pesan baru atau telepon dari siapapun. Melainkan e-mail spam dari antah berantah yang rutin dikirim ke e-mailnya yang malang tersebut.
                “Sori, nunggu lama nih?” muncul seorang lelaki dengan eau de toiltette yang masih semerbak.
                “Banget” ujar wanita tersebut. Ketus.
                “Tapi, yang biasanya telat itukan elu”
                “Problem buat lo?”
                “Hehe, enggak sih” ujar lelaki tersebut diiringi senyum khasnya. Padahal memang benar begitu adanya. Ia telat sampai disana bukan karena macet atau apapun, tapi ia berpikir bahwa pacaranya akan selalu telat. Kapanpun mereka kencan. Namun ia tak mau mengungkit masalah ini lebih jauh. Menurutnya, lebih baik dia dan menikmati waktu mereka berdua disini. Ketimbang bertengkar karena masalah yang sepele.
                Pada kenyataannya sang pria memang sulit mendapatkan waktu kosong kekasihnya yang seperti artis ibukota. Sehingga baginya, beberapa jam saja akan sangat berharga. Lebih berharga daripada uang yang akan ia habiskan demi pacarnya yang selalu mengikuti mode kemanapun sang mode itu pergi. Sampai pakaian yang minim bahan pun ia beli (dengan uang sang pria tentunya), meskipun itu tak sesuai dengan norma yang seharusnya berlaku baginya. Tapi terkadang cinta memang benar benar buta. Hingga logika pun takluk di hadapannya.
                Dan kencan pun berjalan seperti biasanya. Kencan satu arah. Sang lelaki bicara, dan wanita menjawab dengan ketus. Namun sang lelaki tetap saja mempertahankan senyumnya yang memang tulus dari dalam hati. Karena sejujurnya, ia merasa beruntung bisa kencan dengan pacarnya yang sangat sibuk ini.
                Boman namanya. Berasal dari kata bowman. Karena orangtuanya adalah atlit panahan, sehingga menamainya seperti itu. Padahal Boman sendiri lebih suka bermain sepak bola. Mungkin ia adalah lelaki paling sabar sekaligus paling beruntung menurut pandangan dia sendiri. Bukannya bersikap sok, namun memang kenyataan berkata demikian. Tidak pernah ia membayangkan bisa mendapatkan gadis secantik model shampoo yang lagi nge-tren di masa kini. Tapi sebanding dengan itu, ia pun juga merasa bahwa segala apa yang dilakukan olehnya, takkan pernah benar dimata Reni, kekasihnya. Apalagi bila Boman melakukan kesalahan seperti ini, sudah jelas suasana hati kekasihnya yang super sibuk ini akan menjadi seperti apa. Dan ia memilih untuk sabar. Karena prinsipnya : orang sabar, dompetnya lebar.
                “Ayo dong yaang, jangan marah terus dong”
                “Salah lo sendiri”
                “Iya sih, tapi jangan gitu terus dong. Kan weekend gini jadi percuma ngeliatin wajah lu yang lagi merengut gitu. Kan susah nyari jadwal kosong elu”
                “Oh, jadi lo ngerasa percuma ketemu ama pacaar lo sendiri?” Reni mulai menaikkan nada suaranya.
                “Ya enggak, tapi-“
                “Tapi apa? Kalo lo emang gamau ketemu ama gue yaudah. Udah bagus juga lo gua kasih waktu kosong minggu gini nih. Coba aja gue keluar ama temen gue, pasti suasana gabakal gini kan?”
                “Iya... Sori...” ratapnya penuh permohonan maaf. “iyasih gue salah, tapi yang bikin suasana jadi gaenak siapa duluan coba?” geramnya dalam hati. Namun kata kata itu ia buang jauh jauh, semata karena rasa sayang yang besar pada kekasihnya ini.
                Memang, selalu seperti ini. Entah ini karena sifat dasar Reni yang cuek, ataukah rasa bosan yang melandanya. Atau bahkan Boman yang tak pernah melihat kenyataan. Sehingga Reni bersikap begitu kejam pada kekasihnya yang dulu ia perhatikan sepenuh hati. Apalagi, gadis secantik Reni bisa saja menggaet lelaki lain yang jauh lebih ganteng daripada Boman. Yang notabene termasuk ke dalam golongan ganteng-gak-jelek-juga-gak.
                Pernah sekali, Reni mencoba menghindari dan memutuskan Boman. Namun Boman bersikeras untuk mempertahankan hubungannya. Entah karena gengsi dengan teman-temannya, atau memang rasa sayang Boman yang terlalu besar.  Sehingga membuat Boman lupa, bahwa ia hanyalah menjadi sapi perahan yang hanya akan terus diambil susunya. Hanya akan dimanfaatkan oleh Reni.
                “Yaudah, gue pulang dulu yah. Gue diajak ke mall sama temen.”
                “Eh, jangan dulu dong. Kita kan baru sebentar ketemuan”
                “Sebentar apanya. Liat tuh jam, udah dua jam gue duduk disini sambil dengerin cerita lo”
                “Oh, iya. Hehe. Sori deh”
                “Gue pulang dulu ya. Jangan lupa bill-nya tuh. Dah”
                “Dah” hanya satu kata. Dan itu mungkin menjadi kata terakhir di kencan mereka yang terakhir.
                Memang, terkadang teori relativitas Einstein yang terkenal tentang relativitas waktu selalu terbukti bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Sehingga ketika rindu melanda, jam seluruh dunia seakan bersekutu untuk melambatkan jarum mereka. Namun ketika sedang bersama, kopi mendidih yang dituang langsung dari tekonya pun, terasa seketika itu juga mendingin. Memang, waktu tak pernah benar. Dan cinta mereka perlahan pudar. Seperti zaman keemasan yang runtuh akibat pengkhianatan.

***

Boman Arditya Laksmana. Nama itu terpampang agak buram di bet baju seragam yang ia kenakan. Hari itu Senin, dan upacara. Sehingga khusus hari ini, semua anak-khususnya Boman-memakai seragam lengkap tak terkecuali. Karena kebiasaannya adalah memakai seragam yang tidak sesuai denga ketentuan sekolah. Namun hal ini tidak begitu mengganggu sampai seorang gadis berjilbab menghampirinya dari belakang secara tiba tiba.
                “Hah! Ngelamunin apa hayoo”
                Entah ekspresi apa yang dimunculkan oleh Boman. Ia terlihat tersentak sekaligus malu seseorang memergokinya melamun.
                “Eh, siapa bilang ngelamun. Sotoy lu ah”
                “Oh, gak ngelamun ya. Trus kok tadi gua liat ada iler netes?”
                “Eh, kalo gua ngelamun ga sampe segitunya kali”
                “Tuhkaaan bener ngelamun”
                “Bah”
                “Iuuuh, Boman ngambek. Iuuuuh” dengan nada khasnya ia mengejek Boman dengan santai. Karena memang mereka adalah teman dekat. Cukup dekat untuk bisa disebut sahabat.
                Biasa disebut dengan Naka. Karena ia keturunan jepang dengan nama panjang Nakata Aiko Sinta Putria. Tidak begitu cantik, namun manis dan sedap dipandang. Dengan kacamata yang mempermanis parasnya. Namun ia tak begitu suka menggunakan kacamata, menurutnya itu tidak gaul. Anak yang easy going dan mudah diajak bercanda. Dan mungkin itu alasan Boman memiliih Naka untuk menjadi teman dekatnya.
                Tidak mengada-ada, dengan umur yang sudah tujuh belas tahun, dan parasnya yang manis, sekalipun ia tak pernah sayang-sayangan dengan seorang lelaki kecuali dengan ayahnya. Jangan salah, meski begitu wajahnya sangat Indonesia. Dan kulitnya putih, bawaan dari negeri sakura. Tapi belum ada yang pernah mengikat dia sebagai seorang pacar. Namun entah darimana, ia selalu tahu seluk beluk lelaki itu seperti apa. Sehingga, Naka sering menjadi tempat curhat para gadis yang sedang dilanda masalah cinta. Dan ajaibnya, mereka semua berhasil. Ibarat dukun, obatnya selalu mujarab. Singkat kata, ia tak pernah pacaran, tapi teman lelakinya sudah tak terhitung jumlahnya.
                “Eh, gimana lu sama artis kesayangan lu kemaren?”
“Gaada bedanya. Kayak biasanya. Well, nothing special”
“Ah, gaya lu sok inggris. Nyebutin angka satu sampe sepuluh di inggrisin aja lu gak lancar. Sok sok ngomong gitu”
                “Terserah gua dong. Hidup hidup gua, mulut mulut gua”
                “Yaelah, terserah lu dah” sambil berlalu dan menarik Boman untuk ikut upacara yang jarang dihadirinya. Awalnya Boman menolak, namun akhirnya tunduk pada Naka yang berwatak keras. Sekeras batu kali yang biasanya dijadikan pondasi.
                Mungkin hanya saat bersama Naka, Boman merasa diperhatikan. Namun Boman tetap saja menganggap Naka sebagai sahabatnya. Dan mungkin Naka tidak demikian perasaannya terhadap Boman. Mungkin. Hanya Tuhan yang tahu, di bawah ke Maha-tahuanNya.

***

“Semua orang makan nasi kan? Berarti yaudah! Semua orang sama. Iya kalo ada yang makan beling, bukan manusia tuh namanya. Trus kenapa lu harus beda bedain tiap orang? Gaadil woy! Mulai sekarang, gausa nelpon gua lagi. Gua gasuka sama orang kayak elu!” teriak seorang gadis di dalam kamar yang dikunci rapat, dan jendela semua ditutup.
                Entah seperti apa perasaannya saat itu. Saat itu ia hanya berpegang teguh pada prinsip persamaan HAM. Ia tidak suka membeda bedakan. Dan semakin memperparah keadaan, orang yang barusan saja ia telepon adalah seseorang yang benar benar membeda-bedakan. Dan gadis itu benar benar tidak suka pada orang seperti itu.
                Batinnya berkecamuk. Antara meminta maaf dan merusak prinsipnya, atau membiarkan orang di ujung telepon itu. Sesungguhnya dia sangat menyukai orang tersebut. Tapi itu berlawanan dengan prinsipnya. Jadi, dia memutuskan untuk meninggalkannya begitu saja.
                “Masih banyak cowok lain” ujarnya dalam hati. Walaupun pada kenyataannya, kekerasan hatinya yang luar biasa itu membuat dia tidak pernah sekalipun mendapat seorang pacar hingga ia masuk SMA. Dan meskipun ia sedikit goyah, ia memutuskan untuk memegang teguh prinsipnya. Hingga mungkin suatu saat nanti. Saat ia bertemu dengan seseorang yang mampu mematahkan prinsipnya hingga berkeping keping. Dan ketika ia kembali ke kenyataan, orang itu tepat berada di sampingnya saat ini.
                “Eh! Ngelamun aja lu. Inget masa lalu ye? Idiiih, galau ni yee” ejek Boman.
                “Diem lu”
                “Sekarang gantian, lu yang kegep lagi ngelamun. Ahahahaha”
                “Udahlah ah. Gue ke kamar mandi dulu ya”
                “Jiah, gitu aja ngambek. Ga asik ah”
                “Beneran nih gua kebelet. Dah” Dan ke kamar mandi adalah alasan yang cukup baik bagi seorang wanita bila ia ingin menangis sejadi jadinya. Karena setelah ini, mata Naka yang awalnya kering, akan bersimbah air mata. Air mata yang dulu pernah muncul berkali kali. Dan sekarang terulang lagi.
                Bukanlah Naka bila ia merusak prinsipnya sendiri. Ia pernah bertemu dengan seorang lelaki yang lebih muda daripada dia sendiri. Naka mengakui bahwa ia suka pada lelaki tersebut. Namun prinsipnya yang kuat tak pernah membuat ia mengubah jalan hidupnya. Dan masih banyak lelaki yang ia tolak karena berbagai macam alasan. Dari yang paling sepele, hingga masalah berat. Sehingga sampai sekarang, sampai ia bertemu Boman, ia tak pernah memiliki kekasih. Entah, karena prinsipnya yang kuat, ataukah ia yang terlalu pilih-pilih.
                Satu lagi prinsip yang ia pegang teguh, ia takkan mau dengan seseorang yang sudah mempunyai kekasih. Apalagi Boman dan Reni sudah 1 tahun lebih 6 bulan. Bukan waktu yang singkat bagi dua insan yang saling mencintai. Dan sekali lagi, Naka di berikan pilihan yang sulit. Merobohkan dinding prinsipnya dan menghancurkan hubungan mereka berdua, atau mencari lelaki lain. Yang tentunya, tak ada yang sebaik Boman dimata seorang Naka.
                Baginya, Boman adalah sosok yang tidak sempurna. Banyak kekurangan dan kesalahan. Namun kesungguhannya dalam menjalani sesuatu patut di acungi jempol. Dan ketulusannya dalam menghadapi sesuatu tak bisa dipungkiri lagi. Tak ada yang lebih tulus dan ikhlas daripada Boman di dalam hidup Naka yang singkat ini.
                “Eh, lama banget lu di kamar mandi. Boker ya?” Sapa Boman ketika Naka masuk kelas setelah sesi menangisnya yang cukup panjang.
                “Palelu peyang. Gua ke kantin dulu tadi” kata Naka menutupi kebenaran
                “Ih, tau gitu gua tadi nitip elu”
                “Ya gua sih improvisasi aja. Abis pipis, rasanya tenggorokan ni kering. Yaudah, kantin solusinya”
                “Yaelah, gitu doang” ujar Boman, polos. Memang, Boman bukanlah seseorang yang peka terhadap orang lain. Sehingga, melihat mata Naka yang agak sembab karena menangis, ia sama sekali tak berpikir bahwa Naka baru saja mengeluarkan air matanya. Ia malah berpikir Naka hanya kelilipan saat berada di kantin. Hanya kelilipan.
                Sedikit banyak, memang itu yang diharapkan oleh Naka. Ia tak berharap sedikit pun Boman mengerti perasaannya. Karena itu ia selalu berbohong pada Boman, terutama tentang perasaannya. Namun di sisi lain, Naka sangat mengharapkan Boman mengerti dan mau memutuskan Reni, kekasihnya. Agar ia memiliki kesempatan untuk bersama Boman. Walaupun itu bertentangan dengan prinsipnya. Dan segera ia buang jauh jauh pemikiran itu.
                Namun, sebuah gunung berapi yang mendapat tekanan dari dapur magma di dalam bumi, tentunya akan meledak suatu saat. Begitulah dengan Naka. Ia gunung berapi aktif yang mencoba menyimpan lavanya sendiri. Mencoba melawan tekanan yang begitu besar dari dalam bumi.

***

                “Darimana aja lo?”
                “Em, sori macetnya pol polan. Liat aja di tipi lagi ada demo”
                “Oh, trus gue harus ngertiin lo buat hal sepele kayak gitu? Kalo lo udah tau, ya dateng lebih cepet dong. Lo udah ngabisin waktu gue tau gak? Bentar lagi gue mau take foto. Kan lo tau berapa lama gue dandan buat take foto, hah?” semprot Reni sekena mulutnya berbicara, sama sekali tak mengindahkan alasan Boman. Padahal take foto yang Reni bilang akan segera dilaksanakan, baru dimulai tiga jam lagi. Hal itu hanya alasannya agar tak lama lama dengan Boman.
                “Ren, gua mau ngomong masalah serius. Tolong kali ini aja dengerin, jangan di komen dulu”
                “Whatever-lah”
                “Sori, bukannya gua mau ngerusak hubungan kita selama ini. Tapi, makin lama hubungan ini, makin gua rasa gak sehat. Jujur aja, gua tertekan sama sifat elu yang berubah. Gua capek sama omelan lu yang gajelas, isinya cuma marahin gua doang. Gua capek Ren”
                “Oh, lo baru nyadar ya? Yah agak telat sih. Tapi mendingan daripada gak sama sekali”
                “Yah, gitulah. Jujur aja, gua udah gatahan..”
                “Stop! Lo gausa panjang lebar lagi. Gue udah tau mau kemana omongan bullshit sekarang. Jadi, gaperlu lo sebut, gue udah mutusin”
                “Okelah”
                “Oke, kita putus”
                “Sori ya Ren buat selama ini. Makasih juga buat semuanya”
                “Yaah, klise abis. Udahlah gaperlu penutup segala. Hari ini gue yang bayarin. Nih duitnya, ambil kembaliannya buat lo” sambil lalu meninggalkan Boman sendiri yang terduduk di sofa kafe. Kafe yang baru saja menjadi saksi bisu air mata Boman. Walaupun hanya setetes, tak pernah siapapun melihatnya menjatuhkan setitik air di ujung matanya. Mata bulat penuh kepercayaan itu sekarang lembab oleh air matanya.
                Waktu menunjukkan bahwa ia sudah duduk disana selama 15 menit. Waktu yang cukup lama untuk menyadari bahwa air mata telah jatuh. Karena Boman sendiri tidak sadar ia pernah memiliki air mata. Seingatnya, ia hanya pernah menangis ketika umur 5 tahun. Ketika mainan favoritnya rusak. Sejak saat itu, Boman tak pernah menangis lagi. Tidak sampai saat ini.

***

Titik balik itu ada. Ibarat sebuah kurva, mungkin ini adalah titik puncak bagi Boman. Ketika kurva selalu naik seakan tak memiliki ujung, suatu persamaan pun akhirnya menjatuhkan kurva yang merangkak naik, menjadi terjun bebas. Menuju ke titik nol. Titik tiada apa apa. Titik dimana Boman menyadari kebodohannya.
                Dengan seragam yang sedikit lebih rapi dari biasanya, karena hari ini adalah MOS bagi siswa baru, Boman sekarang mengenakan dasi yang biasanya hanya ia pakai pada hari senin. Tidak ada hal yang berubah selain dasi yang ia kenakan hari ini. Bahkan hatinya. Karena memang Boman bukan lelaki melankolis yang menangisi kepergian kekasihnya. Boman lelaki kuat yang bermental baja, dengan wajah yang selalu ceria, dan mata bulat yang percaya.
                Titik balik itu dimulai dari sini, dari kata demi kata. Dari kalimat yang terangkai indah bak anyaman sutra. Dari mulut sang Naka.
                “Sori Man, gua denger lu barusan putus”
                “Iya, gausa pake sori lah. Lagipula, yang nyaranin gua putus kan elu”
                “Hehe, iya juga sih” padahal di balik itu semua, Naka menyuruh Boman putus adalah demi dirinya sendiri. Agar dia bisa lebih terbuka pada Boman. Dan mengungkapkan yang sesungguhnya.
                “Eh, Man. Gua mau ngomong”
                “Wah, biasanya kalo awalnya gini pasti mau ngomong serius. Ada apa gadis muslimah dari negeri sakura?”
                “Alay tau gak!”
                “Eh, gitu aja sewot lu”
                “Enggak, gua gak sewot!”
                “Tuh buktinya. Elu ngomong aja pake tanda seru”
                “Yahh, emang mau pake tanda tanda kiamat sudah dekat?”
                “Ya gak gitu juga sih”
                “Eh, sori ya man gua langsung to the point. Gua gabisa basa basi. Sebenernya gua suka sama lu”
                Keheningan diantara mereka pun tercipta. Bagai pemakaman terpencil, sunyi senyap. Hanya terdengar sesekali Boman menelan ludah. Diikuti dengan keringat dingin mengalir di pelipis Naka. Jika tidak segera ada pengalih perhatian. Mungkin mereka akan tetap seperti itu selamanya.
                “Jadi, selama ini lu nyuruh gua putus...”
                “Enggak! Bukan gitu maksud gua!”
                “Selama ini lu gua anggep sahabat. Jadi di mata elu gua lain?”
                “Eh, tapi gak gitu juga. Gua gak mau liat lu menderita sama dia terus”
                “Ah, terserah lu mau bilang apa. Gua hargai perhatian elu biar gua gak tersiksa. Tapi gak gini juga caranya. Jadi sekarang lu mauny apa pas udah ngomongin perasaan elu? Pengen jadi pacar gua? Hah? Oh, jadi ini alasan selama ini lu gapernah punya pacar. Gua salah tangkep Ka”
                “Enggak, bukan gitu...”
                “Biar gini juga, gua juga punya harga diri woi. Udah ah, gua mau ngurusin MOS dulu. Bersihin dulu tuh mata lu. Jelek kalo elu lagi mewek. Dah”
                Tak hanya bagi Boman, titik balik pun ada bagi Naka. Seorang gadis yang selalu melalui titik balik, namun tak pernah mencapai tujuan. Bahkan untuk kali ini pun, ia merasakannya lagi. Perasaan yang sudah berulang kali ia rasakan sebelumnya. Seperti buku dengan judul yang berbeda, cerita yang berbeda, tokoh yang berbeda. Namun dengan ending yang akan selalu sama.

Pada umumnya, jika dua orang anak adam sedang dalam masa pendinginan setelah terjadi perang lidah, mereka takkan mau bicara bahkan menyapa satu sama lain. Dan itu terjadi pada Naka dan Boman. Mereka duduk berjauh-jauhan satu sama lain. Teman teman mereka pun bertanya apakah ada yang tidak beres diantara Boman dan Naka. Namun tak sepatah kata pun meluncur dari mulut keduanya perihal ketidak beresan hubungan mereka.
                Sampai beberapa hari Boman sadar, bahwa saling mendiamkan bukanlah hal yang bijaksana. Apalagi Naka adalah teman yang selalu setia kapanpun Boman membutuhkannya. Sehingga ia memberanikan diri untuk berbicara terlebih dahulu. Namun hal itu tak terjadi, Naka langsung membuka pembicaraan terlebih dahulu.
                “Man, sori ya gua terlalu gegabah”
                “Eh, iya. Ini salah gua juga yang gak peka sama elu”
                “Hehe, bukan elu yang gak peka Man. Tapi emang gua yang gamu ngasi tanda ke elu. Hal ini selalu gua simpen dalem ati. Jadi salah gua sendiri”
                “Iya udah, salah bareng bareng deh”
                “Hehe iya”
Pada akhirnya, Naka dengan segala kedewasaannya memilih untuk tetap menjadi sahabat Boman. Ia tak mau persahabatannya rusak begitu saja. Sehingga, Naka memilih untuk mengonversikan perasaan sayangnya sebagai kekasih, menjadi sahabat selamanya. Walaupun kata selamanya adalah kata retoris, Naka tak peduli. Karena pada dasarnya, perasaan adalah energi. Energi tak pernah habis ataupun hilang. Hanya bisa dirubah. Naka percaya energi cintanya yang sementara bisa dirubah menjadi energi lain yang bertahan lebih lama.
                Mereka akan tetap seperti biasanya untuk waktu mendatang. Walaupun setelah kejadian beberapa hari yang lalu, persahabatan mereka takkan sama dengan persahabatan mereka sebelumnya. Tak akan pernah sama




fin
Category: ,

2 comments:

Anonim mengatakan...

Terlalu klise..

Agung Putra Wijayanto mengatakan...

maklum masih newbie. semoga kedepannya lebih baik :D

Posting Komentar