Jangan Lepaskan (end)


Satu minggu tak terasa sudah berlalu seiring dengan liburanku ke puncak pada malam minggu yang sama 7 hari yang lalu. Dan malam ini aku memang tak ada janjian dengan Lena, karena ia masih ada tugas organisasi yang harus dikerjakan untuk esok hari. Dia tak memintaku menemaninya karena ia tak mau aku mengganggunya. Memang sih, dahulu ketika aku ikut bersamanya ketika ia mengerjakan tugas, apapun yang ia kerjakan selalu tak pernah selesai. Dan baru selesai ketika aku pamit pulang. Jadi untuk malam ini, aku memutuskan untuk mencari hiburan lain dengan menghubungi teman-temanku.

Satu persatu kulihat tweet temanku di timeline, tak ada satupun yang memperlihatkan bahwa mereka sedang tidak kemana mana. Yang satu check-in foursquare di salah satu mall besar. Lalu ada yang menulis quality time dengan keluarga. Ada juga yang sedang kencan. Ah, sepertinya memang malam ini aku tidak ditakdirkan untuk kemana-mana.

Entah ada angin darimana, ketika aku membuka salah satu instant messaging, aku melihat nama Jane disana. Dia terlihat memasang status sedih yang sedikit berlebihan. Aku merasa ada yang aneh. Karena selama aku mengenalnya, ia bukan tipe yang suka mengumbar perasaan di dunia maya. Ah, kurasa itu cuma teman-temannya yang iseng meminjam handphone-nya lalu menulis yang aneh aneh di statusnya.

Aku : Dibajak ya? ._.
Jane : Apanya yang dibajak?
Aku : Itu tuh, statusmu. Jangan jangan kamu gak sadar kalo barusan dibajak o_O
Jane : Ah enggak kok :)
Aku : Trus, itu beneran statusmu? :o
Jane : Iya 
Aku : Waduh, maaf maaf. Ya gak biasanya aja kamu nulis kayak gitu. Maaf ganggu
Jane : Gapapa kok 
Aku : Yaudah, selamat bermalam minggu ya. Jangan sedih lo, nanti Dika marah :D
Jane : Iya :)


Entah kenapa, emot senyum yang ia berikan itu terasa tidak lazim. Dan kalimat demi kalimat yang ia tuliskan tidak seperti biasanya aku memulai chat dengan dia. Tak mungkin aku berusaha mencari tahu dengan menanyakan ke Jane langsung. Kata-katanya saja seperti itu, sudah pasti jawaban berikutnya adalah “Aku gapapa, aku baik baik saja” dan beribu kata kata klise lainnya.

Pilihan terakhir.... Stalking twitternya

***

Hari ini hari selasa. Dari info yang aku dapatkan dari teman-teman sekampusku, malam ini HowTo akan bermain di kafe dekat kampusku. Dan ini kesempatan emas untuk bisa membuat alasan agar Lena mau kuajak berkencan malam ini. Kebetulan Lena juga suka dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh HowTo. Ia juga bilang bahwa tingkat kegantengan vokalisnya sudah keterlaluan. Dalam hati aku berkata “Siapa dulu pacarnya. Jane kan keren”.

Aku juga mempunyai kesempatan mengenalkan Lena pada Jane. Karena kupastikan malam ini Jane pasti berada disana untuk melihat pacarnya di atas panggung. Rencana yang cukup matang sudah kusiapkan seharian ini untuk kegiatan malam nanti.

Matahari tenggelam dan mulailah saat yang kutunggu-tunggu. Aku akan menjemput Lena dulu lalu pergi ke kafe lebih cepat agar ada kesempatan untuk bertemu Jane.

Ketika sampai disana, aku menemukan banyak orang sudah menempati tempat duduknya masing-masing. Dan aku hampir kehabisan tempat duduk untuk kami berdua. Setelah beberapa saat mencari, aku hanya menemukan satu tempat duduk tersisa di meja panjang. Mau tidak mau kuserahkan kursi itu pada Lena, dan aku yang berdiri.

Saat ini masih band lokal yang berada di atas panggung. Mereka bilang HowTo masih satu jam lagi. Dan satu jam adalah waktu yang cukup lama untuk berdiri disini bersama Lena. Lalu aku meminta ijin pada Lena untuk berjalan-jalan untuk menghabiskan waktu. Ia setuju saja, karena kebetulan di kursi sebelah Lena ada teman sekampusnya. Jadi paling tidak dia tidak sendirian.

Sekitar 5 menit mengelilingi kafe, aku merasa ingin keluar dan mencari udara segar. Sesampainya di luar, aku mencoba menghubungi Jane. Karena sejauh penglihatanku di dalam kafe, tak sekalipun aku melihat Jane. Aku melihat di instant messaging, ternyata dia tidak online. Lalu kucoba sms, juga tidak dijawab. Ah mungkin ia sedang sibuk di belakang panggung. Jadi kubiarkan saja.

10 menit berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran Jane. Tiba-tiba sms datang dari Jane. Ia bilang ia tidak datang malam ini untuk menonton HowTo. Aku tak percaya dan aku mencoba meyakinkan diri dengan meneleponnya.

“Halo, Jos?”
“Iya, Resta. Ada apa?
“Enggak, cuma mau tanya aja, kenapa kamu gak dateng malem ini”
“Ya soalnya emang aku gak diundang sama Dika”
“Loh, meskipun gak diundang, bukannya kamu dateng juga kan?”
“Iya sih. Tapi sekarang aku agak males. Hehe”
“Kok gitu sih?”
“Terserah gue dong. Hahaha”
“Kamu sekarang dimana sih?”
“Aku lagi di kosan aja”
“Oh, emang gaada yang nganterin kesini?”
“Resta, kan aku udah bilang kalo aku males. Sebenernya aku bisa berangkat sendiri”
“Yah, yaudadeh. Ntar kalo HowTo mau main kukabarin ya”
“Iya, makasih”
“Okedeh”

Tawa yang terdengar dari ujung telepon itu terasa hambar. Aku tahu itu sama sekali bukan tawa bahagia. Lalu ketika ia mengucapkan kalimat yang agak panjang, suaranya terasa bergetar. Aku tak tahu apakah mungkin itu dia sedang melakukan hal lain, atau mungkin memang menahan sesuatu.

Aku tak percaya orang seperti Jane bisa melakukan hal itu. Sejauh ia pernah bercerita padaku, ia tak pernah absen untuk melihat Dika diatas panggung. Bahkan sebelum mereka berpacaran. Lalu kenapa malam ini ketika HowTo sudah mulai terkenal, ia malah tidak ada disana?

Kemudian aku teringat ketika malam itu aku stalking twitternya. Sekilas memang tak terasa aneh. Pada saat itu ia menulis bahwa hari selasa HowTo akan tampil. Dan itu membuatku berpikir bahwa ia akan datang. Tapi dari tweet-tweet sebelumnya, ia terlihat seperti tidak menerima keadaan.

 Dan puncaknya adalah tweet 7 hari yang lalu. Itu berarti, jika aku melihatnya pada malam minggu, berarti tepat malam minggu sebelumnya, atau saat aku dan Lena liburan ke puncak. Tweetnya memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Walaupun hanya satu tweet malam itu. Sebelumnya aku berpikir tweet itu hanya pemanis saja, dan semua terlihat jelas sekarang.

Biarkan bahagiamu menjadi bahagiaku juga. Tapi sedih kusimpan sendiri. Tak usah kembali, lagi

***

Aku berlari menuju Lena, dan aku bilang aku akan ada urusan sebentar. Tapi ia menyuruhku untuk cepat kembali, karena 15 menit lagi HowTo akan berada di atas panggung. Aku meyakinkan Lena untuk kembali tepat waktu. Lalu aku berbisik pada temannya agar menjaganya jika aku tak kembali sesudah HowTo manggung. Awalnya Lena curiga. Beruntung temannya bilang pada Lena bahwa aku hanya menitipkan Lena. Ia percaya.

Hal berikutnya ketika aku sampai dikos tempat Jane tinggal adalah Jane tidak ada di kos saat itu. Pikiran buruk menghantuiku. Mulai dari percobaan bunuh diri, penculikan, dan lain sebagainya. Ah, tak mungkin Jane berpikir sependek itu. Lagipula itu sangat kekanak-kanakan.

Tiba tiba ada wanita yang mengaku teman sekamar Jane keluar dari dalam kos. Ia bilang bahwa Jane sedang berada di taman belakang tempat kos tersebut. Disana memang cukup ramai pada malam hari, karena ada semacam taman hiburan kecil dan banyak tempat duduk untuk bersantai.

Ketika sampai, aku tak langsung bertemu dengan Jane. Butuh waktu untuk menemukannya, melihat tempat yang cukup ramai ini. Kemudian aku mencoba mencari di kursi kursi taman di sekitar situ.

Terlihat satu kursi yang cukup untuk kurang lebih 3 orang dengan penerangan seadanya dari lampu taman di dekatnya. Tidak terlalu gelap juga tidak terlalu terang. Lalu terlihat wajah yang tertimpa cahaya sebagian. Cahaya itu tak bisa berbohong tentang siapa wanita yang berada disana. Dan aku merasa aku pernah mengalami hal ini sebelumnya.

Aku duduk disampingnya, dan Jane hanya diam. Aku yakin ia menyadari kedatanganku tapi memilih untuk mengabaikannya. Mungkin ia tak suka dengan tipikal orang sepertiku yang ikut ikut dengan masalah orang lain. Demi mencairkan suasana, aku memulai pembicaraan.

“Jos, ngapain disini sendirian”
“Mau cari angin aja”
“Ntar masuk angin lo”
“Ah, angin mana berani sama gue. Haha” Sekali lagi, tawa getir itu
“Iya juga sih, hahaha”
“Bukannya kamu harusnya di kafe ya, nonton HowTo sama pacarmu, siapa?”
“Lena”
“Iya, Lena. Ngapain kamu jauh jauh kesini?”
“Ya gapapa, lagipula Lena udah ada temennya disana”
“Jagain Lena loh. Cewek itu rapuh. Harus dijagain hatinya”
“Gak terbukti tuh sama yang disampingku nih”
“Hahaha”
“Ketawanya maksa banget”
“Becandanya juga maksa banget”
“Hehe, iyasih”
“...”
”...”

Untuk beberapa detik aku menunggu kalimat berikutnya sambil berpikir apa yang harus kukatakan padanya, terasa sangat lama. Aku baru tahu kalau hukum relativitas waktu Einstein juga berlaku pada saat saat seperti ini. Memang aneh tapi nyata, waktu seperti mempermainkanku dengan slow-motion yang dihasilkannya.

“Kamu, putus kah?”
“Apa aku perlu jawab pertanyaanmu?”
“Ehm, seharusnya iya”
“Seberapa penting jawaban itu buat kamu?”
“Penting”
“Apa lebih penting dari Lena sampai kamu jauh jauh datang kesini untuk tidak menerima jawaban apapun dariku?” Kalimat panjang sekali lagi membuatnya terlihat gemetar
“...”
“Gabisa jawab ya? Yaudah kalo gitu giliran aku jawab”
“...”
“Iya aku udah putus sama Dika” kali ini suaranya bergetar dan terdengar jelas isakannya
“Kenapa?”
“Dia milih yang lain”
“Semudah itu kah?”
“Lebih mudah lagi, mungkin”
“...”

Kata kata mungkin itu adalah awal dari air matanya. Aku tak tahu seberapa penting Dika baginya. Dan seberapa sakit pengkhianatan yang dilakukan oleh Dika padanya. Namun hal ini terlihat jelas bahwa dia benar benar sakit hati. Karena baru kali ini aku melihat dia menangis cukup keras. Walaupun tidak berlebihan, tapi cukup membuat orang disekitarnya merasakan sakitnya juga.

Pada tahap ini, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bukanlah orang yang pintar menenangkan orang yang sedang sedih. Karena memang Lena jarang menangis didepanku. Apalagi karena masalah percintaan. Sehingga aku jarang mendapatkan keadaan seperti ini.

Yang aku tahu, perasaanku bertambah sakit seiring dengan isakannya setiap detik aku berada disampingnya. Aku hanya ingin menghentikan tangisnya malam ini, dan meyakinkan diri tidak akan mendengarkannya lain waktu. Tapi aku masih tidak menemukan kalimat yang tepat untuk kusampaikan padanya.

Sampai menit berikutnya aku hanya diam dan duduk disampingnya. Masih tetap dalam kondisi yang sama ketika pertama aku duduk disini. Sampai akhirnya aku hanya bisa menutup mata dan memutar otak begitu keras untuk menenangkannya.

Ketika aku membuka mata lagi, aku masih belum menemukan apapun. Dan yang kutemukan adalah tangisannya mulai bertambah keras. Aku tak memiliki pilihan lain selain menutup mata lagi.

Terakhir aku sadar, kedua tanganku sudah melingkari bahunya. Dan aku melihat punggungnya. Secara tak sadar, aku memeluknya dari samping. Mungkin ini adalah refleks alam bawah sadar yang menyuruhku untuk memeluknya karena logika ku sudah tak bisa dipakai lagi.

Untuk pertama ia memberontak dan berusaha melepaskan tanganku. Aku menurutinya dan melepaskan kedua tanganku. Tapi yang terjadi adalah isak tangisnya makin menjadi. Dan aku tak memiliki pilihan lain untuk kembali menutup mata dan berakhir melingkari bahunya dengan kedua tanganku.

Kali ini ia berontak makin keras, namun aku tak berniat untuk melepaskannya. Sehingga kedua tanganku makin kuat melingkarinya. Untuk beberapa saat ia masih berontak menunjukkan ia tidak mau. Tapi untuk beberapa saat kemudian akhirnya ia diam dan malah mendekap tanganku yang berada di depannya.

Lalu Jane, dengan terbata-bata berusaha mengatakan sesuatu

“Jangan lepasin tanganmu ya”

Aku melepaskan dekapanku ketika tangisnya benar benar berhenti. Lalu terdiam dan tersirat ingatan 10 hari yang lalu. Aku tetap diam

***

Kafe sudah mulai sepi dan terlihat orang membereskan panggung dari peralatan yang baru saja dipakai. Mungkin penampilan HowTo adalah penampilan terakhir. Dan mereka turun panggung kira kira kurang lebih 1 jam yang lalu, jika melihat keadaan sekitar.

Lena tidak ada di tempat ia duduk tadi. Aku mencoba membuka handphone dan melihat missedcall darinya lebih dari 10 kali. Dan kali ini aku mencoba meneleponnya.

“Halo, Len”
“Apa?”
“Kamu dimana?”
“Udah sampe kok”
“Loh, siapa yang nganterin pulang?
“Orang pake seragam biru yang ada gambarnya burung gitu”
“Maaf ya Len”
“Selamat malam Resta”

Orang yang tak bisa membaca pikiran orang lain pun tahu kalau Lena marah. Dan aku lah penyebab kemarahan itu.

***

“Kurasa cukup buat keisengan kita berdua” Lena mengawali pembicaraan
“Mungkin”
“Aku tahu kok kalo kamu udah jatuh cinta sama orang lain”
“...”
“Bagiku itu gapapa, walaupun aku sendiri belum menemukan. Dan ternyata kamu duluan. Aku rasa hubungan yang diawali dengan keisengan harus berakhir sekarang”
“Memang begitu dan maaf Lena. Aku pernah mendengar seseorang bicara bahwa jika aku jatuh cinta dua kali, maka aku harus memilih yang kedua. Karena jika aku benar benar mencintai yang pertama, tak mungkin aku jatuh cinta untuk kedua kalinya”
“Apa itu berarti 10 bulan ini gak kamu anggap beneran?”
“Untuk apa aku bercanda dalam waktu selama itu? Dia datang tidak lama”
“Kalo gitu aku gak percuma membuang waktu 10 bulan”
“Nggak sama sekali. You are the best”
“Then, you too”

Percakapan kami tentang cinta berakhir disana. Dan setelah itu kami kembali seperti 10 bulan yang lalu. Ketika kami berdua bisa membicarakan hal-hal lucu seperti aku bisa berbicara dengan sahabat baik. Lena cukup bisa menerima keadaan dengan baik, ia memang dewasa.
 Lena adalah yang terbaik.

***

“Udah kamu sampaikan salamku ke Lena?”
“Udah dong”
“ Ya lain waktu aku akan ketemu dia sendiri buat minta maaf”
“Kayanya dia gaperlu permintaan maafmu”
“Kenapa?”
“Dia sudah memaafkanmu jauh sebelum aku memutuskan untuk memilih kamu”
“Kamu bener Resta. Lena yang terbaik”
“Then, you too”

Fin

Category:

0 comments:

Posting Komentar