Wish You All The Best

Gaun pengantin berwarna putih dengan berbagai bunga hiasan yang berdiri tegak di atas kepalanya, terlihat sangat menawan. Hal itu semakin luar biasa ketika dipadukan dengan kecantikannya yang sederhana namun memikat mata. Ah, sungguh beruntung aku menemukan wanita secantik ini di masa ku yang sudah tidak muda.
Ini adalah kali pertamaku meminang seorang wanita. Aku, dengan jas hitam dan dasi berwarna merah dipadukan dengan songkok khas presiden pertama Republik Indonesia, hanya duduk mematung menunggu mc membacakan acara selanjutnya. Acara inti yang dinanti-nanti.
Orang orang sekitarku terlihat was-was, menantikan ucapan Ijab yang disampaikan oleh ayah dari mempelai wanita, dan Qabul yang akan diteruskan olehku. Mereka takut aku akan salah dalam mengucapkan nama sang mempelai wanita. Karena jujur saja, bagiku namanya cukup sulit untuk diucapkan. Dengan lidahku yang sarat dengan aksen jawa, namanya menjadi makin sulit untuk kuucapkan.
Seseorang menyelipkan kertas kecil berisi nama lengkap dan mas kawin yang sudah disiapkan. Kertas itu langsung kutaruh diatas meja dan kuapit dengan tangan kananku yang sedang memegang tangan mertuaku. Lebih tepatnya, sebentar lagi akan menjadi mertua. Dan sambil menunggu ia selesai mengucapkan dialog bagiannya, aku menghapalkan tulisan yang ada di kertas itu.
Wus, tanganku di ayun kecil untuk mengisyaratkan bahwa ini saatku mengucapkan dialog bagianku. Dan untungnya, tepat sebelum tanganku di ayun, aku sudah siap. Kemudian, dua orang di sekitarku langsung mengucap “sah” seketika saat sang penghulu menanyakannya.
Lega rasanya. Ini kali pertama dan terakhirku untuk melakukan semua hal ini. Tapi tidak untuk mempelai wanita. Ini adalah kali keduanya.
Iya, dia adalah seorang janda beranak satu. Dan satu anak ini, akan menjadi bagian hidupku yang paling luar biasa.
  

***

“Ma, aku mau berangkat kerumah temen dulu ya”
“Mau ngapain?”
“Mau belajar buat besok ma”
“Perlu dianter ayah?”
“Ayah sudah meninggal ma, Rin bisa berangkat sendiri kok”
“Ya tapi sekarang kan sudah ada ayah baru” dengan suara pelan menenangkan
“Ohya? Ayahku cuma satu dan gaakan ada yang bisa gantiin ayah sendiri” sambil menantang dan dengan suara yang tinggi.
Aku mendengar pembicaraan istriku dan Rin dari kejauhan. Aku masuk ke dalam rumah dan ikut dalam pembicaraan
“Kamu mau kemana nduk?”
“Aku mau ke rumah temen” acuh tak acuh
“Biar ayah antar ya?” aku berusaha selembut mungkin dalam mengucapkannya
“Gak usah! Aku bisa berangkat sendiri” sambil berlalu meninggalkan aku dan istriku
“Yaudah kalo gitu, hati hati ya nak”
Sampai di depan pintu ia berbalik dan berseru “Apapun yang kamu lakukan, kamu gaakan pernah bisa menggantikan ayahku!” lalu dilanjutkan dengan menutup pintu dengan keras.
Dengan iba istriku mulai bicara “Maafkan aku Rudi. Rin terlalu sayang dengan ayahnya. Ia hanya belum bisa merelakan kepergian ayahnya”
“Aku mengerti. Aku tahu sebelum aku memilih untuk meminangmu. Aku tak menyesali apapun”
“Terima kasih banyak” dan ia kembali meneruskan apa yang ia lakukan.
Dan aku? Aku hanya diam mematung di tempatku berdiri sambil menangis di dalam hati. Lalu bilang pada diriku sendiri “Ini baru awal, ini baru awal”


Dulu ketika aku menikahi Emma, Rin masih smp. Jadi terang saja ia berlaku seperti itu kepadaku. Ayahnya adalah seseorang yang sangat penyayang, gentle, tampan, dan hampir sempurna di mata Rin. Dan dia tak menemukan satu pun kelebihan ayahnya yang ada padaku. Kalaupun ada, pasti sudah tertutup dengan kekuranganku yang lainnya. Yang menurut dia, sangat sangat mengganggu. Dan ia tidak bisa menerima itu. Satu satunya kelebihan yang kumiliki dibanding ayahnya adalah, aku lebih kaya.
Aku menikahi Emma karena dua hal. Satu, suaminya yang dulu meninggal dengan tidak meninggalkan investasi yang cukup. Hal ini membuat ia harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anaknya. Dan aku merasa aku bisa membantunya dengan cara menikahinya. Yang kedua adalah karena memang aku mencintainya. Tak lebih dari itu. Dan tentunya, jika aku mencintainya, aku harus bisa mencintai anaknya. Seperti sepasang kekasih yang mencintai kekurangan satu sama lain.
Sesungguhnya, pernikahan kami sama sekali tidak bermasalah. Rin sendiri setuju jika aku menikahi Emma. Karena ia sendiri kasihan melihat ibunya berjuang mati-matian dalam membiayai pendidikannya. Walaupun hanya satu yang ia tidak bisa terima, kehadiran seorang ayah baru di keluarganya. Ia hanya menganggap aku suami dari ibunya. Tapi bukan ayah yang akan melindungi dan mengayominya. Kasarnya, aku hanya lumbung uang yang membantu ekonomi keluarganya. Tak lebih.
Begitu banyak pengorbanan yang sudah kuberikan untuk Rin. Uang hanya salah satunya. Aku sudah memberikan sebagian besar waktuku untuk bisa kuhabiskan dengannya. Dan aku berusaha mati-matian untuk mengangkat status sosialku lebih dari sekedar lumbung uang dimatanya.
Sekarang, ia sudah sma. Dan seharusnya dia sudah cukup dewasa untuk menerima aku di dalam hatinya. Ia memang mulai membaik padaku. Namun pada kenyataannya, ia tetap pada pendirian bahwa aku tak akan bisa menggantikan ayahnya.
Suatu ketika, aku sempat mendengar panggilan ayah dari mulutnya. Betapa luar biasa hal itu dalam hidupku. Lalu di sms juga dia terkadang menggunakan panggilan ayah kepadaku. Dan ketika hal itu terjadi, aku mengabadikannya untuk suatu saat kulihat lagi. Paling tidak untuk menyenangkan hatiku sendiri. Walaupun belakangan aku tahu, dia memanggilku ayah karena disuruh oleh ibunya. Itupun harus dengan paksaan yang luar biasa sampai dia sudi mengucapkan panggilan terlarang itu.
Tidak tulus memang, tapi cukup untuk membuatku bahagia. Karena bahagia yang sesungguhnya bukan datang dari luar. Itu semua datang dari diri sendiri. Dan bagaimana kita memandang masalah yang ada.

***

Tibalah ulang tahun ke 17 Rin. Ulang tahunnya jatuh pada hari Sabtu. Saat siang hari, Rin sudah menyiapkan pesta kecil di sebuah restoran. Tentu saja aku dan istriku datang. Namun, orang-orang yang datang di pesta ulang tahunnya sangat sedikit. Dan banyak pesanan yang batal melihat peserta yang meramaikan tak lebih dari 10 orang. Padahal ia sudah mengundang lebih dari 50 temannya. Dengan berbagai alasan yang membuat mereka tidak bisa datang ke ulang tahun Rin.
Malam setelah acara, ia menangis sejadi-jadinya. Aku dan istriku sangat sedih melihatnya seperti itu. Dan untuk menenangkannya aku mencoba mengajaknya bicara
“Rin, gak papa. Masih ada aku dan ibumu yang selalu menemani kamu kapanpun. Bahkan bukan di hari ulang tahunmu pun, kami akan selalu datang” sambil mengelus kepalanya
Rin mengangkat tangannya dan melempar tanganku yang ada di kepalanya “Kamu gak ngerti rasanya! Gausa sok tau perasaan wanita!”
Istriku menyambut “Hus! Gaboleh bilang kamu-kamu ke ayah!”
Dengan nada lebih tinggi “Oh ya? Sejak kapan dia jadi ayahku? Sejak dia menikahi mama kah? Aku gak merasa dia adalah ayahku sedikitpun!” Lalu dia meoleh padaku “Asal kamu tau ya, kamu gaakan pernah bisa menggantikan ayahku!”
“Rin, dengarkan aku. Aku memang bukan dan tak akan pernah menjadi seperti ayahmu. Aku hanya seorang lelaki yang mencintai ibumu. Dan dengan konsekuensinya, aku pun harus bisa mencintaimu. Sebesar cintaku pada ibumu.”
“Lalu apa?” jawab Rin ketus
“Maafkan aku Rin, aku tidak bisa membuat teman temanmu hadir di restoran mewah tadi siang”
“Maafmu tidak akan merubah apa-apa”
“Memang, tapi hanya satu yang bisa kulakukan untukmu” sambil berjalan ke arah taman kecil di rumahku.
Lampu di taman saat itu mati. Dan tidak ada penerangan lain selain dari rumahku. Setelah itu, aku membuka pintu ke arah taman dan menyalakan lampu.
Sederet lampu warna warni menyala secara bersama sama. Menghiasi tanaman yang membuat paduan warna menjadi semakin indah. Diiringi dengan lagu meriah khas pesta ulang tahun anak muda. Kemudian terbanglah dua helikopter remote control yang membawa spanduk bertuliskan “Maaf aku tidak bisa mengundang orang, yang kubisa hanya membawanya pulang.” Kemudian diikuti oleh teman-teman Rin yang muncul satu persatu dari bagian belakang rumah, tempat menyembunyikan lebih dari 30 orang. Dibarengi oleh teman-teman Rin lainnya yang masuk lewat depan rumah yang tidak sedikit pula.
Rin ikut keluar dan mengikutiku dengan wajah yang tidak percaya. Dia tidak percaya taman luas yang menjadi bagian dari rumahku akan dijadikan sebagai tempat pesta ulang tahunnya. Gegap gempita terus saja mewarnai seiring dengan langkahnya. Dua helikopter yang membawa spanduk, melepaskan talinya, kemudian ada spanduk kedua yang tersimpan di belakang spanduk pertama. Isi spanduk tersebut adalah “Happy 17th Birthday Rin” dengan warna-warna yang terlihat bagus di malam hari. Ditambah dengan lampu yang menyorot ke arah spanduk semakin memperjelas isi dari spanduk tersebut.
Datanglah kue dengan lilin berbentuk 17 di atasnya. Dan seperti ritual anak muda pada umumnya, Rin menutup mata kemudian meniup lilin dan semua orang bertepuk tangan.
Acara itu berlangsung meriah. Dan ketika malam mulai larut, satu-persatu teman Rin pulang. Mereka mengucapkan selamat, memberi doa, dan berbagai kalimat-kalimat pemberi semangat lainnya.
“Rin, selamat ya!” salah satu teman Rin menyapa sebelum beranjak pulang
“Kamu kok jahat tadi di restoran kamu gak dateng?”
“Yang penting kan aku dateng kesini kan sekarang?”
“Ini pasti rencana kamu ya?”
“Bukaaan! Gak mungkin kita bisa mengadakan pesta kayak gini. Jangankan mengadakan, merencanakannya aja kita udah gak berani”
“Lalu siapa yang buat”
“Ya siapa lagi kalo bukan ayahmu”
“Benarkah?”
“Bener deh” kemudian dia mengakhirinya dengan salam sambil berlalu meninggalkan Rin.

Usai acara, Rin mendatangiku.
“Ayah…” kali ini terdengar tulus
“Iya Rin?”
“Terima kasih”
Kemudian dia memelukku dan meneteskan air mata, lagi.


***

Tengah malam, tiba tiba ada suara keras di belakang rumahku. Aku tak ingat ada pekerja konstruksi yang sedang bekerja di belakang rumahku. Aku membangunkan istriku dan bilang ada yang aneh. Lalu aku pergi untuk mengeceknya berdua.
Sampai di belakang rumah tidak terlihat ada apa apa. Aku tak mau ini berakhir menjadi cerita horor dan membuat diriku sendiri tidak bisa tidur.
Sambil melangkah perlahan kembali ke rumah, tiba-tiba yang aku dapatkan adalah Rin dengan kue kecil dengan lilin di atasnya. Dan aku baru ingat, ulang tahunku dengan ulang tahunnya hanya terpaut beberapa hari saja.
“Ayah, selamat ulang tahun ya”
“Jadi yang bikin suara tadi kamu?”
“Iya”
“Hati-hati lo, nanti kamu digituin sama ayah kamu nanti gabisa tidur”
Sungguh kebahagiaan yang luar biasa mengisi relung dadaku. Rasanya seperti ditiupkan hidrogen ke mulutku. Lalu tubuhku terangkat dan “BUM!” meletus begitu saja dan menyatu dengan udara.
“Ayah”
“Iya Rin?”
“Ayah tetep gaakan bisa gantiin ayah yang dulu. Karena ayahku yang sekarang, punya gayanya sendiri”
“Makasih ya Rin”
“Wish you all the best yah”
“Rin, you are my all. You are my best. And I wish nothing”
Dan malam itu berakhir tanpa kata. Hanya air mata dan kehangatan yang memancar dari pelukan kami bertiga.
Category:

0 comments:

Posting Komentar