Kalau Sudah Rindu, Aku Bisa Apa

Cerah, terik, gerah. Merupakan definisi terbaik untuk suasana hari itu. Dimana semua orang berlalu lalang menunggu sebuah baja melintas di depan mereka dengan cepat. Dan di tengah kondisi itulah aku berada, sambil bermimpi apa yang akan kulakukan di weekend berikutnya. Karena hari ini adalah hari aku kembali ke tempatku mengabdikan diri.

Di stasiun ini, di Tanah Abang, tempatku berhenti sejenak untuk transit dari stasiun stasiun sebelumnya. Dan stasiun ini adalah tempat transit terakhir sebelum sampai di stasiun tujuanku nanti. Semangat yang mulai memudar semakin membantu menambah kebosananku menunggu kereta berikutnya.

Ketika aku sadar, di sampingku ada seorang wanita. Ia mengenakan jilbab berwarna jingga, dengan make-up sekedarnya, dan tas punggung yang dipeluk olehnya. Seakan ia curiga dengan semua orang yang ada di sini. Manis sih wajahnya. Bergaya Indonesia sekali. Tapi apa mau dikata, ia hanya seorang yang asing bagiku, dan aku asing baginya. Ya, biarkanlah saja begitu adanya.

Sampai suatu ketika ia mengangkat telepon genggamnya, lalu mengucapkan beberapa baris kalimat dalam bahasa yang dulu pernah aku pelajari. Tapi sampai sekarang pun aku tidak mengerti. Lalu aku mengambil kesimpulan bahwa dia adalah mahasiswa yang cukup luas networkingnya, bahkan sampai ke negara tempat Fat Man dijatuhkan. Dan, dari sini aku semakin tertarik dengannya.



Ku alihkan pandanganku agar tak dianggap seorang aneh yang memandangi orang asing cukup lama. Kemudian pura-pura tak acuh seakan aku tak lagi berada di tempat yang sama. Tapi, bagai aura Dementor yang menarik kebahagiaan manusia, ia kembali menarik perhatianku ketika ia mengangkat telepon genggamnya lagi. Bukan dengan Bahasa Indonesia, tapi Bahasa Inggris.

Hmm, kupikir ia orang Malaysia yang nyasar di Jakarta. Toh, orang mereka memiliki wajah yang kurang lebih sama dengan kita kan? Dan aku kembali terbang bersama lamunanku yang dibawa oleh angin panas kota Jakarta.

Eh, sekali lagi. Dia kembali menyedot perhatianku kali ini. Dan bukan main main, ia bertanya secara acak kepada orang sekitarku, dengan Bahasa Inggris. Ah, sebagai seseorang yang tertantang menggunakan bahasa asing tersebut, tentunya aku langsung menjawab cas-cis-cus semua pertanyaannya.

Ia bertanya kapankah kereta akan tiba. Sebagai seorang yang tidak mengerti jadwal kereta, yang taunya cuma naik turun saja, dengan sok tau aku berkata bahwa mungkin kereta akan datang 5-10 menit lagi. Dengan imbuhan mungkin saja ban keretanya bocor atau apa. Sehingga kereta mengalami penundaan keberangkatan yang seharusnya bisa datang lebih cepat.

Dari percakapan kami, aku mulai tahu. Pertama, jelas ia bukan orang Indonesia. Kedua, ia juga bukan orang Malaysia. Ketiga, ketika kau melihat wajahnya kau takkan tahu dia orang mana. Dan keempat, ia adalah seorang keturunan Indo-Filipina yang besar di Manila.

Ia adalah mahasiswa yang melakukan penelitian -atau hal semacam itu- di Jakarta. Dan ia disarankan oleh koleganya untuk menaiki kereta karena lebih cepat. Namun ia kecewa karena kereta tak datang tepat waktu. Karena ia terlambat untuk bertemu dengan entah siapa, yang jelas ia sebut dia orang penting dalam studinya.

Memang, waktu itu relatif, bekerja seperti karet. Bisa mampat, bisa juga terasa sangat panjang. Dan dalam hal ini ada semacam energi besar yang membuat lorong waktu yang begitu besar. Sampai menyedotku dan membuat lupa akan tujuanku berada di Tanah Abang ini. Tibalah kereta yang kami tunggu-tunggu. Aku menunjukkan gerbong khusus untuk wanita untuknya. Seakan terikat lem karet, ia mengikutiku, walau tetap mengambil jarak untuk ke gerbong biasa. Berdesak-desakan dengan orang banyak, sambil berdiri, sambil bersamaku pula. Betapa malang nasibnya.

Ia hanya 2 stasiun lagi setelah Tanah Abang. Sedangkan tujuanku masih di ujung sana, pemberhentian terakhir kereta. Dan sekali lagi, ia buat 2 stasiun ini terasa seperti lorong waktu yang menghisap dengan hebat. Seperti teori perbintangan pada umumnya, sebuah bintang akan runtuh menjadi lubang cacing. Nah, aku sedikit curiga ia adalah bintang yang dimaksud ini. Karena gaya tariknya besar, walaupun tak secantik model pada umumnya. Entah apa yang menghinggapiku ini.

Sampai pada satu momen penting, yang harusnya terjadi di awal percakapan. Yaitu sebuah perkenalan. Dan ia memperkenalkan namanya, Huda. Seakan semua saraf ditubuhku membantu mengingat namanya, detil wajahnya, aksesoris tasnya, sampai ke berapa tebal bedak yang ia gunakan dalam satuan milimeter.

Sayangnya, announcer berkata seakan mengejekku bahwa stasiun Kebayoran sudah dekat. Semakin bingung aku dibuatnya. Seorang dari antah berantah, di tempat antah berantah, bertemu dengan antah berantah itu sendiri. Ingin aku mengulang turun di stasiun ini dan mengantarkannya sampai tujuan, apa daya aku tak karuan.

Kuperhatikan ia turun, lalu aku berpesan untuk hati hati padanya. Walaupun mungkin masih ada yang nyangkut di hati.

Dan aku menyesal, kenapa tak kuucapkan saja sampai bertemu lagi? Hati-hati hanyalah sebuah pesan. Bukan janji. Dan itu berarti aku takkan pernah bertemu lagi kan? Ah celakalah aku.

Ya, semoga kau bahagia dengan hidupmu sekarang Huda. Aku juga bahagia. Walaupun aku ragu kau masih ingat padaku. Yang mungkin satu dari sekian ribu orang asing yang di ajak bicara olehmu..


terkadang ada orang yang lama muncul di kehidupan kita, tapi tak pernah menjadi arti
dan terkadang ada orang yang hanya muncul di sebagian kecil hidup kita, menjadi sangat berarti

Huda oh Huda. Ya paling tidak begitu aku mendengar kau mengucapkannya. Entah benar namamu Huda atau bukan. Yang jelas Tanah Abang-Kebayoran menjadi saksi bisu satu dari sekian juta pertemuan seperti pertemuanku denganmu.



Terima kasih telah muncul dan hilang. Kaulah hantu yang kutakutkan. Membawa pergi sebagian perasaan yang dicampur aduk dengan rasa penasaran.
Category:

0 comments:

Posting Komentar