Truk nomor 6 terparkir di depan gerobak siomay depan
sekolah. Asapnya mengepul memenuhi jalan raya. Seakan tak tahu malu, seorang
anak langsung saja menyambar tasnya sembari berteriak
“Yeee! Udah dateeeeeenng!”
katanya sambil menghambur ke arah truk nomor 6. Truk tersebut hanya sebuah truk
marinir biasa yang mampu menampung banyak orang. Catnya yang berwarna hijau
mulai tertutupi oleh karat yang tersebar di seluruh bodi truk. Selain dari itu,
tak ada yang lebih kecuali truk itu untuk mengangkut anak salah satu SMA di
Sidoarjo yang akan melaksanakan LDKS di daerah Batu.
Truk 6 adalah truk untuk panitia
LDKS dan sekaligus truk barang. Karena disana dimuat barang barang yang
diperlukan untuk LDKS. Seperti speaker, sound
system, tenda, alat P3K, dan lain sebagainya.
Gamal adalah salah satu panitia
bagian peralatan yang kebagian ikut di truk 6. Ia seorang anak kelas 11 dan dia
merupakan anggota OSIS. Kulitnya tidak terlalu putih, dan sering mengenakan
topi Ripcurl kw dtc berwarna hitam. Mudah mengenalinya karena suaranya yang
khas seperti rocker jaman dahulu,
serak serak basah.
“Din, kita nyampe mana?”
“Mboh, liaten sendiri ta”
“Yah, jahate seh”
“Bah, aku ngantuk” jawab Aldina
sambil merebahkan diri pada salah satu tas milik peserta LDKS yang ditaruh di
truk 6 karena keterbatasan tempat. Aldina merupakan ketua OSIS yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan LDKS tersebut. Ia memilih untuk di truk 6 hanya agar ia
bisa tidur dengan bebas.
Memang, ketua OSIS biasanya ada
di tempat strategis dalam setiap hal. Tapi Aldina adalah ketua yang cukup unik
dengan caranya sendiri. Ia mampu membawa nama organisasinya sampai keluar
sekolah. Tak ayal, paras cantiknya didukung oleh kemampuannya dalam memimpin.
Sehingga, setiap lelaki bertekuk lutut di hadapannya.
Satu jam sudah Aldina terlelap.
Dan pemandangan sekitar mulai berubah dari jalan raya yang penuh dengan
kendaraan bermotor yang berdesak desakan, menjadi jalan dengan pemandangan
hijau sekaligus udara yang mulai terasa dingin. Aldina yang kebal terhadap
segala cuaca tidak merasakan perubahan sama sekali. Berbeda dengan Gamal yang
mengenakan jaketnya saat mulai terasa dingin. Jaketnya yang tebal semakin
memperbesar badannya yang kurus.
“Halah, jek baru ae gini wes
kedinginan. Kamu itu cowok tapi kalah sama aku”
“Babah, soale kamu itu kan cewek
jadi jadian. Ya kuat ae ngadepi kayak gini”
“Eh, enak ae lek ngomong. Ngene
ngene aku cewek tulen. Perlu bukti?”
“Hehehe” sambil mengangkat senyum
di bibirnya ia memasang sarung tangan pengendara motor. Menurutnya, sarung
tangan tersebut dapat mengurangi kedinginan. Entah karena jalan berpikirnya
yang aneh, ataukah hanya itu sarung tangan yang ia punya.
Tibalah truk 6 menyusul truk lain
yang bertujuan sama. Dengan spanduk bertuliskan “LDKS SMA 13 SIDOARJO”
terpampang di hidung tiap truk yang terparkir di lapangan besar depan hotel
persis. Gamal mengambil peralatan yang mampu dibawanya dan diangkat menuju
lapangan untuk acara selanjutnya. Dan acara LDKS pun di mulai oleh pembukaan
dari ketua OSIS, Aldina.
Malam hari terasa begitu membeku di Batu. Kaos kaki tebal
yang dikenakan Gamal pun tetap tak terasa hangatnya. Tapi apa mau dikata, malam hari itu adalah
puncak acara dalam LDKS. Jerit Malam.
Memang, acara acara seperti LDKS
dan sejenisnya hampir tak pernah lepas dari acara tersebut. Seakan hal itu
adalah wajib. Sehingga bila tidak diadakan, tak afdol rasanya. Dan kali ini,
tak hanya persiapan dari panitia yang matang, namun juga suasana daerah sekitar
yang mencekam. Dengan penerangan seadanya dan pemukiman penduduk yang jarang,
semakin menambah kelamnya suasana LDKS. Di satu sisi ada bentangan ladang sawah
yang luas seakan berujung di langit, di sisi lain terdapat hutan pinus yang
minim pencahayaan. Bahkan pantulan sinar bulan pun tak sanggup menembus hutan
tersebut.
Malam itu sekitar pukul sembilan.
Gamal sudah menyiapkan semuanya pada tempatnya. Membagi pos sesuai dengan rute
yang akan dilalui peserta LDKS. Dan setiap pos akan dijaga oleh dua orang
panitia. Total ada sepuluh pos. Lalu beberapa panitia lain yang diharuskan
melalui rute secara rutin. Untuk berjaga jaga bila terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan. Gamal kebagian panitia sisa yang harus melalui rute. Dan ia bersama
Roni. Salah satu panitia seksi konsumsi yang sekaligus sahabat karibnya.
“Nggowo senter gak?” tanya Gamal
“Yo jelas lah. Seng penting ojok
sampek misah. Aku dewe wedi lho”
“Mbok pikir aku gak?”
“Ealah Maal. Kon sisan yo wedi.
Lek kene podo podo wedi trus yoopo?”
“Wes, lakoni wae” sambil
mengenakan topi gunung dan menyalakan senternya mereka mulai berjalan melalui
pos demi pos.
Untuk putaran pertama, tidak
terjadi hal yang begitu aneh. Sampai mereka di putaran kedua pos keempat, tiba
tiba senter mereka mati. Seorang Roni bukanlah seseorang yang mudah panik
seperti Gamal. Sehingga ia tenang saja dan tetap melanjutkan perjalanan tanpa
senter. Dan berencana meminta baterai pada siapa saja di pos berikutnya.
Sampai di pos lima, mereka tak
menemukan siapapun kecuali Cathy. Hal ini terasa aneh. Karena setiap pos
seharusnya dijaga oleh dua orang. Cathy seharusnya berpasangan dengan Aldina.
Namun mereka berdua tak menangkap bayangan apapun yang berbentuk seperti
Aldina. Dan ketika mereka sudah cukup dekat, Roni bertanya pada Cathy
“Eh, si Dina mana?”
“Mbuh. Tadi bilange sih mau
pipis. Tapi sampek sekarang gak mbalek mbalek” Cathy memang seorang gadis yang
pemberani. Ia dikaruniai kemampuan untuk melihat hal hal gaib. Sehingga ia
tidak takut, karena ia sudah biasa melihat hal hal seperti itu.
“Loh, yaapa seh. Gitu ya gak mbok
jemput. Ato minimal di telpon lah”
“Udah seh tak panggil namanya.
Tapi ntar kalo ada peserta lewat sini trus salah belok gimana? Kamu mau
tanggung jawab?”
“Yo gamau seh. Yowes ayo Mal
nggoleki Dina”
“Yoweslah” dengan berat hati ia
mengikuti Roni. Padahal Gamal adalah seorang penakut. Namun rasa takutnya harus
ia lawan demi mencari temannya, Aldina.
Mereka mengambil arah ke kanan
yang tidak mengarah ke pos berikutnya. Karena pos lima berada di persimpangan,
pos ini cukup vital. Sehingga jika tidak ada yang menjaga, malah akan membuat
para peserta tersesat. Dan Aldina memilih jalan ini karena jalan setapak lebih
sunyi. Sehingga ia bisa buang air dengan bebas.
Gamal terus saja mencoba
menelepon Aldina. Namun handphonenya tidak aktif. Dan Gamal pun lebih takut
daripada biasanya. Roni hanya bisa menenangkan Gamal agar tidak semakin
memperparah keadaan.
Sekitar lima menit mereka
menunggu di jarak pandang pos lima, sehingga mereka masih bisa kembali jikalau
ada yang tidak beres. Namun Roni adalah orang yang tidak sabaran. Ia pun
mengambil langkah untuk mencari Aldina sendirian. Berbekal senter yang sudah
mati, ia hanya menggunakan flash kamera handphonenya.
Gamal mengingatkan untuk tidak
gegabah. Namun terlambat, Roni sudah tidak terlihat di kegelapan malam. Dan
bulu kuduk Gamal mulai terasa berdiri. Seakan ada angin berhembus kecil yang
sengaja di arahkan ke leher belakang Gamal.
Gamal tidak tinggal diam. Ia
tetap memantau keadaan pos lain melalui sms. Ia bertanya pada teman temannya
kalau-kalau mereka melihat Aldina. Sebagaimana paduan suara, sms mereka berisi
kurang lebih sama. Tak melihat Aldina, dan balik bertanya apa yang terjadi
padanya. Hal ini semakin membuat risau sekaligus takut menjadi satu di dalam
hati Gamal. Ia yang takut kegelapan, harus berjuang sendiri untuk menghadapi
rasa takutnya.
Entah halusinasi atau sesuatu
yang lain, Gamal merasakan hawa Aldina di hutan sebelah kirinya. Hutan tempat
Roni menghilang dari pandangan. Namun ketika ia mengedarkan pandang, yang ada
di sana tak lebih dari batang pohon yang menjulang tinggi dan rapat-rapat satu
sama lain. Hal ini membuat Gamal lebih sering mengecek Handphone. Hal itu
dilakukan hanya agar matanya tidak melihat ke arah lain yang tidak
diinginkannya.
Sampai pada saatnya, sms yang
ditunggu itu pun tiba. Sms itu berisi pemberitahuan dari Cathy bahwa baru saja
posnya dilewati peserta terakhir. Hal ini berarti bahwa acara jerit malam sudah
mendekati akhir acara. Dan sekali lagi ia menanyakan tentang keberadaan Aldina,
Cathy menjawab tidak tahu. Lalu Cathy menambahkan bahwa ia akan membantu dan
menemani Gamal di tempatnya menunggu sekarang.
Seharusnya, pos lima tidaklah
jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Namun lebih dari satu menit ia menunggu,
Cathy tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Gamal berpikir ia mungkin
mencari teman lain untuk ikut bersamanya.
Namun tidak terjadi demikian,
segera setelah Gamal menyadari bahwa dirinya tidak lagi berada di tempat yang
sama, ia mencoba menelepon Cathy. Cathy menjawab ia memohon maaf tidak bisa
menemaninya. Dan berjanji akan kembali lagi untuk beberapa menit lagi. Gamal
terpaksa diam di tempat yang sama sekali asing baginya. Seakan pohon pohon di
sekitarnya bertukar tempat. Gamal tak lagi mengenali tempat berpijaknya
sekarang. Karena sekarang ialah yang tersesat di tengah hutan pinus yang rapat.
Memberanikan diri untuk bergerak,
Gamal mencoba meninggalkan tempat tersebut. Namun anehnya ia selalu merasa
kembali ke tempat yang sama. Mungkin terdengar epik, namun pada kondisi seperti
ini, ia tak bisa menyamakan keadaan di cerita atau film yang akan selalu
berakhir baik. Ia tidak sepenuhnya yakin akan bisa meninggalkan tempatnya
sekarang.
Tiba tiba, sekelebat bayangan
muncul beberapa langkah di depan Gamal. Dan untuk meyakinkan diri, ia mencoba
mendekatinya. Dan seperti menemukan oasis di tengah gurun, hatinya kembali
tenang setelah melihat Aldina dan Roni sedang berjalan ke arah sebaliknya.
Segera Gamal memanggil mereka berdua. Dan betapa terkejutnya Roni dan Aldina,
mereka akhirnya menemukan Gamal. Karena mereka berpikir Gamal-lah yang
tersesat.
Mereka pun bergegas kembali ke
arah pos lima. Karena hanya tinggal mereka bertiga yang belum kembali ke tenda
panitia.
***
Rasa takut Gamal mulai hilang
semenjak bertemu dengan Roni dan Aldina. Roni tampak seperti biasanya, orang
yang tak kenal rasa takut dan memimpin perjalanan mereka bertiga. Namun Aldina
terlihat tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat lebih pucat dengan bibir
yang kering dan pandangan mata yang kosong. Rasa takut Gamal kembali lagi setelah
memperhatikan Aldina. Ia takut bahwa Aldina yang dilihatnya sekarang, bukanlah
Aldina yang sebenarnya.
Gamal hanya mencoba berpikir
positif. Mungkin Aldina hanya ketakutan atau terkena flu karena dinginnya Batu.
Sehingga ia mencoba tetap berbicara demi memecah keheningan di antara mereka.
“Din, kamu itu mbokya lek pipis
jangan jauh jauh”
“Iya”
“Kamu juga Ron, ngapain coba coba
jalan jauh jauh. Senter mati lagi”
“Gak kok, buktine ini masih bisa
nyala lho. Liat tuh terang benderang”
“Iyowesla terserah. Tapi,
bukannya sentermu mati?”
“Liaten dewe ta”
“Yawes yawes”
Di satu sisi ia bersyukur senter
milik Roni kembali menyala. Di sisi lain ia takut melihat keadaan Aldina yang
tidak seperti biasanya. Dan mereka melangkah seperti biasanya. Penuh
keheningan, seakan mendukung malam yang sang pemilik hening.
Tak lama kemudian, mereka sampai
di pos lima dan menemui Cathy dengan raut wajah yang aneh. Lalu, raut wajahnya
menyatakan bahwa salah satu diantara mereka bukanlah manusia yang sebenarnya.
Namun Cathy tak mau menyebutkan siapa, ia hanya diam dan memperhatikan teman-temannya
satu persatu. Lalu mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga.
Gamal sudah sering mendapati
sorot mata Cathy yang seperti itu. Setiap ia mengeluarkan ekspresi anehnya, itu
pertanda bahwa ada yang tidak beres. Ia hampir hapal dengan kebiasaan Cathy
yang seperti itu. Keringat dingin mulai mengucur lagi di pelipis Gamal.
Mereka bertiga mulai berjalan
melalui pos pos yang sebelumnya dijaga oleh teman-temannya. Tidak banyak yang
berubah selain pohon pohon yang semakin memperbesar bayangannya dan mencegah
cahaya bulan untuk menerobos masuk ke jalan yang Gamal lalui.
Entah ada angin apa, setiap Gamal
melalui pohon besar di jalan yang mereka lalui, ia selalu merasa ada yang
melihat salah satu dari mereka. Ia yakin yang diperhatikan bukanlah dirinya
sendiri, melainkan salah satu dari Roni atau Aldina. Atau mungkin keduanya. Namun
hal itu tak berlangsung lama, dan berubah ke suasana yang bukannya lebih
tenang, melainkan lebih mencekam dari sebelumnya.
Jalan yang mereka lalui mulai
menurun. Merasa tak nyaman, Gamal pun memutuskan untuk jalan duluan.
“Ron, aku jalan ndek depan ya. Pinjem
sentermu”
“Yawes terserah. Nyoh” sambil
melemparkan senter ke arah Gamal.
“Eit, ati ati ta lek nguncal”
Gamal tidak berbakat dalam hal psikomotorik, sehingga senter itu jatuh dan
menggelinding melalui kakinya dan terus sampai ke samping Roni. Gamal setengah
berlari mengejar senter tersebut dan menunduk untuk mendapatkannya. Namun yang
ia dapatkan bukan hanya senter yang sedang menyala, Gamal baru sadar bahwa
kedua kaki Roni tidak menjejak ke tanah. Sepatunya terlihat samar samar dan kakinya
hanya utuh sampai dibawah lutut. Ia tidak melihat mata kaki yang seharusnya
berada disana.
Refleks ia bangun dan membeku
memandangi Roni, teman dekatnya. Atau mungkin tidak lagi. Pandangan ia buang ke
wajah Aldina yang pucat, dan tidak semakin memberinya ketenangan, yang ada
malah semakin mencekam.
Gamal terus mencoba untuk tenang
dan melalui semuanya dengan biasa saja. Namun hal itu tak mungkin dilakukan. Di
dalam otak gamal tidak ada lagi sugestu positif yang dapat dikeluarkan. Karena tak
ada yang positif jika seorang manusia biasa sedang dikelilingi oleh dua mahluk
aneh yang dulunya adalah teman-temannya sendiri.
Seketika itu juga kedua kaki
Gamal yang sedari tadi bergetar hebat, mulai mengambil langkah seribu ke arah
perkemahan. Tak peduli dengan mereka berdua, Gamal terus berlari.
Sampai di perkemahan, semuanya terasa biasa saja. Tidak ada
yang heboh akan kembalinya Gamal dan hilangnya Aldina dan Roni. Tak ada satu
orang pun yang membicarakan mereka bertiga.
Memberanikan
diri, Gamal mencoba menyapa Pesek, salah satu panitia bagian konsumsi
“Loh,
kon wes mbalik Mal. Suwine seh nguyuh ae”
“Kapan
aku nguyuh? Ketmau lo aku nggoleki Dina ambek Roni”
“Gausa
guyon ta. Lawong awakmu ketmau wes mbalik ambek arek loro iku kan. Mbaringono
kon nguyuh dilut”
“Loh,
sumpah rek. Aku ketmau nak dalan nggoleki arek loro iku. Takoko Cathy ta”
“Cathy
lo wes turu ketmau. Kon ngomong ambek sopo? Hahahah”
“Loalah,
trus yoopo iki”
“Yo gak
yoopo yoopo. Kon ngimpi ae paling pas nguyuh mau. Lek gak yo di selentik Jin”
“Nauzubilah.
Mboh rek”
“Yoo,
waalaikumsalam”
Sambil
meninggalkan Pesek sendiri, ia kembali ke tenda dan menemukan sesosok tubuh
yang tidak asing tertidur lelap dengan baju tidur lengkap. Yaitu boxer dan kaos
oblong. Tidak lain tidak bukan, Ia adalah Roni yang asli
***
Entah seperti apa perasaan Gamal sepulang dari acara LDKS
ini. Memang, acara sudah selesai dan ia menemukan Aldina sedang berbicara di depan
peserta LDKS pada saat matahari sudah mulai condong ke atas. Menandakan pagi
yang beralih ke siang di sana. Namun, beribu pertanyaan yang tak terjawab itu
ia simpan semuanya di dalam hati. Dan segalanya takkan terulang lagi. Mungkin
end
0 comments:
Posting Komentar