Dengan
setelan yang tidak casual, tidak klimis tidak juga keren, ia selalu tampil
percaya diri. Seakan dia satu satunya lelaki di dunia yang akan selalu dilirik
oleh berjuta wanita meskipun pakaian yang ia kenakan mendekati compang-camping.
Tapi mungkin, ia dilirik bukan karena keren, melainkan penampilannya sudah
seperti orang sakit jiwa.
Ketika
ia merasa sudah cukup dengan celana jeans belel dan kaos abu-abu bergambar
monster favoritnya, ia pun melenggang meninggalkan rumahnya. Berangkat bertemu
pacarnya.
Di sebuah kafe, terlihat seorang wanita berambut panjang sepunggung.
Rambutnya indah seperti yang dikatakan oleh iklan shampoo ternama di Indonesia. Sehingga bila dia membutuhkan uang,
tinggal mengibaskan rambut di depan kamera, dan banyak produk shampoo yang mengontrak dia sebagai
model.
Telepon
genggamnya tak pernah luput dari penglihatannya. Seakan menunggu pesan singkat
atau telepon dari seseorang, ia terus saja memeriksa. Walau tak satupun
notifikasi masuk yang menandakan adanya pesan baru atau telepon dari siapapun.
Melainkan e-mail spam dari antah berantah yang rutin dikirim ke e-mailnya yang
malang tersebut.
“Sori,
nunggu lama nih?” muncul seorang lelaki dengan eau de toiltette yang masih semerbak.
“Banget”
ujar wanita tersebut. Ketus.
“Tapi,
yang biasanya telat itukan elu”
“Problem
buat lo?”
“Hehe,
enggak sih” ujar lelaki tersebut diiringi senyum khasnya. Padahal memang benar
begitu adanya. Ia telat sampai disana bukan karena macet atau apapun, tapi ia
berpikir bahwa pacaranya akan selalu telat. Kapanpun mereka kencan. Namun ia
tak mau mengungkit masalah ini lebih jauh. Menurutnya, lebih baik dia dan
menikmati waktu mereka berdua disini. Ketimbang bertengkar karena masalah yang
sepele.
Pada
kenyataannya sang pria memang sulit mendapatkan waktu kosong kekasihnya yang
seperti artis ibukota. Sehingga baginya, beberapa jam saja akan sangat
berharga. Lebih berharga daripada uang yang akan ia habiskan demi pacarnya yang
selalu mengikuti mode kemanapun sang mode itu pergi. Sampai pakaian yang minim
bahan pun ia beli (dengan uang sang pria tentunya), meskipun itu tak sesuai
dengan norma yang seharusnya berlaku baginya. Tapi terkadang cinta memang benar
benar buta. Hingga logika pun takluk di hadapannya.
Dan
kencan pun berjalan seperti biasanya. Kencan satu arah. Sang lelaki bicara, dan
wanita menjawab dengan ketus. Namun sang lelaki tetap saja mempertahankan
senyumnya yang memang tulus dari dalam hati. Karena sejujurnya, ia merasa
beruntung bisa kencan dengan pacarnya yang sangat sibuk ini.
Boman
namanya. Berasal dari kata bowman. Karena
orangtuanya adalah atlit panahan, sehingga menamainya seperti itu. Padahal
Boman sendiri lebih suka bermain sepak bola. Mungkin ia adalah lelaki paling
sabar sekaligus paling beruntung menurut pandangan dia sendiri. Bukannya
bersikap sok, namun memang kenyataan berkata demikian. Tidak pernah ia
membayangkan bisa mendapatkan gadis secantik model shampoo yang lagi nge-tren di masa kini. Tapi sebanding dengan itu,
ia pun juga merasa bahwa segala apa yang dilakukan olehnya, takkan pernah benar
dimata Reni, kekasihnya. Apalagi bila Boman melakukan kesalahan seperti ini,
sudah jelas suasana hati kekasihnya yang super sibuk ini akan menjadi seperti
apa. Dan ia memilih untuk sabar. Karena prinsipnya : orang sabar, dompetnya
lebar.
“Ayo
dong yaang, jangan marah terus dong”
“Salah
lo sendiri”
“Iya
sih, tapi jangan gitu terus dong. Kan weekend gini jadi percuma ngeliatin wajah
lu yang lagi merengut gitu. Kan susah nyari jadwal kosong elu”
“Oh,
jadi lo ngerasa percuma ketemu ama pacaar lo sendiri?” Reni mulai menaikkan
nada suaranya.
“Ya
enggak, tapi-“
“Tapi
apa? Kalo lo emang gamau ketemu ama gue yaudah. Udah bagus juga lo gua kasih
waktu kosong minggu gini nih. Coba aja gue keluar ama temen gue, pasti suasana
gabakal gini kan?”
“Iya...
Sori...” ratapnya penuh permohonan maaf. “iyasih
gue salah, tapi yang bikin suasana jadi gaenak siapa duluan coba?” geramnya
dalam hati. Namun kata kata itu ia buang jauh jauh, semata karena rasa sayang
yang besar pada kekasihnya ini.
Memang,
selalu seperti ini. Entah ini karena sifat dasar Reni yang cuek, ataukah rasa
bosan yang melandanya. Atau bahkan Boman yang tak pernah melihat kenyataan.
Sehingga Reni bersikap begitu kejam pada kekasihnya yang dulu ia perhatikan
sepenuh hati. Apalagi, gadis secantik Reni bisa saja menggaet lelaki lain yang
jauh lebih ganteng daripada Boman. Yang notabene termasuk ke dalam golongan
ganteng-gak-jelek-juga-gak.
Pernah
sekali, Reni mencoba menghindari dan memutuskan Boman. Namun Boman bersikeras
untuk mempertahankan hubungannya. Entah karena gengsi dengan teman-temannya,
atau memang rasa sayang Boman yang terlalu besar. Sehingga membuat Boman lupa, bahwa ia
hanyalah menjadi sapi perahan yang hanya akan terus diambil susunya. Hanya akan
dimanfaatkan oleh Reni.
“Yaudah,
gue pulang dulu yah. Gue diajak ke mall sama temen.”
“Eh,
jangan dulu dong. Kita kan baru sebentar ketemuan”
“Sebentar
apanya. Liat tuh jam, udah dua jam gue duduk disini sambil dengerin cerita lo”
“Oh,
iya. Hehe. Sori deh”
“Gue
pulang dulu ya. Jangan lupa bill-nya tuh. Dah”
“Dah”
hanya satu kata. Dan itu mungkin menjadi kata terakhir di kencan mereka yang
terakhir.
Memang,
terkadang teori relativitas Einstein yang terkenal tentang relativitas waktu
selalu terbukti bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Sehingga ketika rindu
melanda, jam seluruh dunia seakan bersekutu untuk melambatkan jarum mereka.
Namun ketika sedang bersama, kopi mendidih yang dituang langsung dari tekonya
pun, terasa seketika itu juga mendingin. Memang, waktu tak pernah benar. Dan
cinta mereka perlahan pudar. Seperti zaman keemasan yang runtuh akibat
pengkhianatan.
***
Boman Arditya Laksmana. Nama itu terpampang agak buram di
bet baju seragam yang ia kenakan. Hari itu Senin, dan upacara. Sehingga khusus
hari ini, semua anak-khususnya Boman-memakai seragam lengkap tak terkecuali.
Karena kebiasaannya adalah memakai seragam yang tidak sesuai denga ketentuan
sekolah. Namun hal ini tidak begitu mengganggu sampai seorang gadis berjilbab
menghampirinya dari belakang secara tiba tiba.
“Hah!
Ngelamunin apa hayoo”
Entah
ekspresi apa yang dimunculkan oleh Boman. Ia terlihat tersentak sekaligus malu
seseorang memergokinya melamun.
“Eh,
siapa bilang ngelamun. Sotoy lu ah”
“Oh,
gak ngelamun ya. Trus kok tadi gua liat ada iler netes?”
“Eh,
kalo gua ngelamun ga sampe segitunya kali”
“Tuhkaaan
bener ngelamun”
“Bah”
“Iuuuh,
Boman ngambek. Iuuuuh” dengan nada khasnya ia mengejek Boman dengan santai.
Karena memang mereka adalah teman dekat. Cukup dekat untuk bisa disebut
sahabat.
Biasa
disebut dengan Naka. Karena ia keturunan jepang dengan nama panjang Nakata Aiko
Sinta Putria. Tidak begitu cantik, namun manis dan sedap dipandang. Dengan
kacamata yang mempermanis parasnya. Namun ia tak begitu suka menggunakan
kacamata, menurutnya itu tidak gaul. Anak yang easy going dan mudah diajak bercanda. Dan mungkin itu alasan Boman
memiliih Naka untuk menjadi teman dekatnya.
Tidak
mengada-ada, dengan umur yang sudah tujuh belas tahun, dan parasnya yang manis,
sekalipun ia tak pernah sayang-sayangan dengan seorang lelaki kecuali dengan
ayahnya. Jangan salah, meski begitu wajahnya sangat Indonesia. Dan kulitnya
putih, bawaan dari negeri sakura. Tapi belum ada yang pernah mengikat dia
sebagai seorang pacar. Namun entah darimana, ia selalu tahu seluk beluk lelaki
itu seperti apa. Sehingga, Naka sering menjadi tempat curhat para gadis yang
sedang dilanda masalah cinta. Dan ajaibnya, mereka semua berhasil. Ibarat
dukun, obatnya selalu mujarab. Singkat kata, ia tak pernah pacaran, tapi teman
lelakinya sudah tak terhitung jumlahnya.
“Eh,
gimana lu sama artis kesayangan lu kemaren?”
“Gaada bedanya. Kayak biasanya. Well, nothing special”
“Ah, gaya lu sok inggris.
Nyebutin angka satu sampe sepuluh di inggrisin aja lu gak lancar. Sok sok
ngomong gitu”
“Terserah
gua dong. Hidup hidup gua, mulut mulut gua”
“Yaelah,
terserah lu dah” sambil berlalu dan menarik Boman untuk ikut upacara yang
jarang dihadirinya. Awalnya Boman menolak, namun akhirnya tunduk pada Naka yang
berwatak keras. Sekeras batu kali yang biasanya dijadikan pondasi.
Mungkin
hanya saat bersama Naka, Boman merasa diperhatikan. Namun Boman tetap saja
menganggap Naka sebagai sahabatnya. Dan mungkin Naka tidak demikian perasaannya
terhadap Boman. Mungkin. Hanya Tuhan yang tahu, di bawah ke Maha-tahuanNya.
***
“Semua orang makan nasi kan? Berarti yaudah! Semua orang
sama. Iya kalo ada yang makan beling, bukan manusia tuh namanya. Trus kenapa lu
harus beda bedain tiap orang? Gaadil woy! Mulai sekarang, gausa nelpon gua
lagi. Gua gasuka sama orang kayak elu!” teriak seorang gadis di dalam kamar
yang dikunci rapat, dan jendela semua ditutup.
Entah
seperti apa perasaannya saat itu. Saat itu ia hanya berpegang teguh pada
prinsip persamaan HAM. Ia tidak suka membeda bedakan. Dan semakin memperparah
keadaan, orang yang barusan saja ia telepon adalah seseorang yang benar benar
membeda-bedakan. Dan gadis itu benar benar tidak suka pada orang seperti itu.
Batinnya
berkecamuk. Antara meminta maaf dan merusak prinsipnya, atau membiarkan orang
di ujung telepon itu. Sesungguhnya dia sangat menyukai orang tersebut. Tapi itu
berlawanan dengan prinsipnya. Jadi, dia memutuskan untuk meninggalkannya begitu
saja.
“Masih banyak cowok lain” ujarnya dalam
hati. Walaupun pada kenyataannya, kekerasan hatinya yang luar biasa itu membuat
dia tidak pernah sekalipun mendapat seorang pacar hingga ia masuk SMA. Dan
meskipun ia sedikit goyah, ia memutuskan untuk memegang teguh prinsipnya.
Hingga mungkin suatu saat nanti. Saat ia bertemu dengan seseorang yang mampu
mematahkan prinsipnya hingga berkeping keping. Dan ketika ia kembali ke
kenyataan, orang itu tepat berada di sampingnya saat ini.
“Eh!
Ngelamun aja lu. Inget masa lalu ye? Idiiih, galau ni yee” ejek Boman.
“Diem
lu”
“Sekarang
gantian, lu yang kegep lagi ngelamun. Ahahahaha”
“Udahlah
ah. Gue ke kamar mandi dulu ya”
“Jiah,
gitu aja ngambek. Ga asik ah”
“Beneran
nih gua kebelet. Dah” Dan ke kamar mandi adalah alasan yang cukup baik bagi
seorang wanita bila ia ingin menangis sejadi jadinya. Karena setelah ini, mata
Naka yang awalnya kering, akan bersimbah air mata. Air mata yang dulu pernah
muncul berkali kali. Dan sekarang terulang lagi.
Bukanlah
Naka bila ia merusak prinsipnya sendiri. Ia pernah bertemu dengan seorang
lelaki yang lebih muda daripada dia sendiri. Naka mengakui bahwa ia suka pada
lelaki tersebut. Namun prinsipnya yang kuat tak pernah membuat ia mengubah
jalan hidupnya. Dan masih banyak lelaki yang ia tolak karena berbagai macam
alasan. Dari yang paling sepele, hingga masalah berat. Sehingga sampai
sekarang, sampai ia bertemu Boman, ia tak pernah memiliki kekasih. Entah,
karena prinsipnya yang kuat, ataukah ia yang terlalu pilih-pilih.
Satu
lagi prinsip yang ia pegang teguh, ia takkan mau dengan seseorang yang sudah
mempunyai kekasih. Apalagi Boman dan Reni sudah 1 tahun lebih 6 bulan. Bukan
waktu yang singkat bagi dua insan yang saling mencintai. Dan sekali lagi, Naka
di berikan pilihan yang sulit. Merobohkan dinding prinsipnya dan menghancurkan
hubungan mereka berdua, atau mencari lelaki lain. Yang tentunya, tak ada yang
sebaik Boman dimata seorang Naka.
Baginya,
Boman adalah sosok yang tidak sempurna. Banyak kekurangan dan kesalahan. Namun
kesungguhannya dalam menjalani sesuatu patut di acungi jempol. Dan ketulusannya
dalam menghadapi sesuatu tak bisa dipungkiri lagi. Tak ada yang lebih tulus dan
ikhlas daripada Boman di dalam hidup Naka yang singkat ini.
“Eh,
lama banget lu di kamar mandi. Boker ya?” Sapa Boman ketika Naka masuk kelas
setelah sesi menangisnya yang cukup panjang.
“Palelu
peyang. Gua ke kantin dulu tadi” kata Naka menutupi kebenaran
“Ih,
tau gitu gua tadi nitip elu”
“Ya gua
sih improvisasi aja. Abis pipis, rasanya tenggorokan ni kering. Yaudah, kantin
solusinya”
“Yaelah,
gitu doang” ujar Boman, polos. Memang, Boman bukanlah seseorang yang peka
terhadap orang lain. Sehingga, melihat mata Naka yang agak sembab karena
menangis, ia sama sekali tak berpikir bahwa Naka baru saja mengeluarkan air
matanya. Ia malah berpikir Naka hanya kelilipan saat berada di kantin. Hanya
kelilipan.
Sedikit
banyak, memang itu yang diharapkan oleh Naka. Ia tak berharap sedikit pun Boman
mengerti perasaannya. Karena itu ia selalu berbohong pada Boman, terutama
tentang perasaannya. Namun di sisi lain, Naka sangat mengharapkan Boman
mengerti dan mau memutuskan Reni, kekasihnya. Agar ia memiliki kesempatan untuk
bersama Boman. Walaupun itu bertentangan dengan prinsipnya. Dan segera ia buang
jauh jauh pemikiran itu.
Namun,
sebuah gunung berapi yang mendapat tekanan dari dapur magma di dalam bumi,
tentunya akan meledak suatu saat. Begitulah dengan Naka. Ia gunung berapi aktif
yang mencoba menyimpan lavanya sendiri. Mencoba melawan tekanan yang begitu
besar dari dalam bumi.
***
“Darimana
aja lo?”
“Em,
sori macetnya pol polan. Liat aja di tipi lagi ada demo”
“Oh,
trus gue harus ngertiin lo buat hal sepele kayak gitu? Kalo lo udah tau, ya
dateng lebih cepet dong. Lo udah ngabisin waktu gue tau gak? Bentar lagi gue
mau take foto. Kan lo tau berapa lama gue dandan buat take foto, hah?” semprot
Reni sekena mulutnya berbicara, sama sekali tak mengindahkan alasan Boman.
Padahal take foto yang Reni bilang akan segera dilaksanakan, baru dimulai tiga
jam lagi. Hal itu hanya alasannya agar tak lama lama dengan Boman.
“Ren,
gua mau ngomong masalah serius. Tolong kali ini aja dengerin, jangan di komen
dulu”
“Whatever-lah”
“Sori,
bukannya gua mau ngerusak hubungan kita selama ini. Tapi, makin lama hubungan
ini, makin gua rasa gak sehat. Jujur aja, gua tertekan sama sifat elu yang
berubah. Gua capek sama omelan lu yang gajelas, isinya cuma marahin gua doang.
Gua capek Ren”
“Oh, lo
baru nyadar ya? Yah agak telat sih. Tapi mendingan daripada gak sama sekali”
“Yah,
gitulah. Jujur aja, gua udah gatahan..”
“Stop!
Lo gausa panjang lebar lagi. Gue udah tau mau kemana omongan bullshit sekarang.
Jadi, gaperlu lo sebut, gue udah mutusin”
“Okelah”
“Oke,
kita putus”
“Sori
ya Ren buat selama ini. Makasih juga buat semuanya”
“Yaah,
klise abis. Udahlah gaperlu penutup segala. Hari ini gue yang bayarin. Nih
duitnya, ambil kembaliannya buat lo” sambil lalu meninggalkan Boman sendiri
yang terduduk di sofa kafe. Kafe yang baru saja menjadi saksi bisu air mata
Boman. Walaupun hanya setetes, tak pernah siapapun melihatnya menjatuhkan
setitik air di ujung matanya. Mata bulat penuh kepercayaan itu sekarang lembab
oleh air matanya.
Waktu
menunjukkan bahwa ia sudah duduk disana selama 15 menit. Waktu yang cukup lama
untuk menyadari bahwa air mata telah jatuh. Karena Boman sendiri tidak sadar ia
pernah memiliki air mata. Seingatnya, ia hanya pernah menangis ketika umur 5
tahun. Ketika mainan favoritnya rusak. Sejak saat itu, Boman tak pernah
menangis lagi. Tidak sampai saat ini.
***
Titik balik itu ada. Ibarat sebuah kurva, mungkin ini adalah
titik puncak bagi Boman. Ketika kurva selalu naik seakan tak memiliki ujung, suatu
persamaan pun akhirnya menjatuhkan kurva yang merangkak naik, menjadi terjun
bebas. Menuju ke titik nol. Titik tiada apa apa. Titik dimana Boman menyadari
kebodohannya.
Dengan
seragam yang sedikit lebih rapi dari biasanya, karena hari ini adalah MOS bagi
siswa baru, Boman sekarang mengenakan dasi yang biasanya hanya ia pakai pada
hari senin. Tidak ada hal yang berubah selain dasi yang ia kenakan hari ini.
Bahkan hatinya. Karena memang Boman bukan lelaki melankolis yang menangisi
kepergian kekasihnya. Boman lelaki kuat yang bermental baja, dengan wajah yang
selalu ceria, dan mata bulat yang percaya.
Titik
balik itu dimulai dari sini, dari kata demi kata. Dari kalimat yang terangkai
indah bak anyaman sutra. Dari mulut sang Naka.
“Sori
Man, gua denger lu barusan putus”
“Iya,
gausa pake sori lah. Lagipula, yang nyaranin gua putus kan elu”
“Hehe,
iya juga sih” padahal di balik itu semua, Naka menyuruh Boman putus adalah demi
dirinya sendiri. Agar dia bisa lebih terbuka pada Boman. Dan mengungkapkan yang
sesungguhnya.
“Eh,
Man. Gua mau ngomong”
“Wah,
biasanya kalo awalnya gini pasti mau ngomong serius. Ada apa gadis muslimah
dari negeri sakura?”
“Alay
tau gak!”
“Eh,
gitu aja sewot lu”
“Enggak,
gua gak sewot!”
“Tuh
buktinya. Elu ngomong aja pake tanda seru”
“Yahh,
emang mau pake tanda tanda kiamat sudah dekat?”
“Ya gak
gitu juga sih”
“Eh,
sori ya man gua langsung to the point. Gua gabisa basa basi. Sebenernya gua
suka sama lu”
Keheningan
diantara mereka pun tercipta. Bagai pemakaman terpencil, sunyi senyap. Hanya
terdengar sesekali Boman menelan ludah. Diikuti dengan keringat dingin mengalir
di pelipis Naka. Jika tidak segera ada pengalih perhatian. Mungkin mereka akan
tetap seperti itu selamanya.
“Jadi,
selama ini lu nyuruh gua putus...”
“Enggak!
Bukan gitu maksud gua!”
“Selama
ini lu gua anggep sahabat. Jadi di mata elu gua lain?”
“Eh,
tapi gak gitu juga. Gua gak mau liat lu menderita sama dia terus”
“Ah,
terserah lu mau bilang apa. Gua hargai perhatian elu biar gua gak tersiksa.
Tapi gak gini juga caranya. Jadi sekarang lu mauny apa pas udah ngomongin
perasaan elu? Pengen jadi pacar gua? Hah? Oh, jadi ini alasan selama ini lu
gapernah punya pacar. Gua salah tangkep Ka”
“Enggak,
bukan gitu...”
“Biar
gini juga, gua juga punya harga diri woi. Udah ah, gua mau ngurusin MOS dulu.
Bersihin dulu tuh mata lu. Jelek kalo elu lagi mewek. Dah”
Tak
hanya bagi Boman, titik balik pun ada bagi Naka. Seorang gadis yang selalu
melalui titik balik, namun tak pernah mencapai tujuan. Bahkan untuk kali ini pun,
ia merasakannya lagi. Perasaan yang sudah berulang kali ia rasakan sebelumnya.
Seperti buku dengan judul yang berbeda, cerita yang berbeda, tokoh yang
berbeda. Namun dengan ending yang akan selalu sama.
Pada umumnya, jika dua orang anak adam sedang dalam masa
pendinginan setelah terjadi perang lidah, mereka takkan mau bicara bahkan
menyapa satu sama lain. Dan itu terjadi pada Naka dan Boman. Mereka duduk
berjauh-jauhan satu sama lain. Teman teman mereka pun bertanya apakah ada yang
tidak beres diantara Boman dan Naka. Namun tak sepatah kata pun meluncur dari
mulut keduanya perihal ketidak beresan hubungan mereka.
Sampai
beberapa hari Boman sadar, bahwa saling mendiamkan bukanlah hal yang bijaksana.
Apalagi Naka adalah teman yang selalu setia kapanpun Boman membutuhkannya.
Sehingga ia memberanikan diri untuk berbicara terlebih dahulu. Namun hal itu
tak terjadi, Naka langsung membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Man,
sori ya gua terlalu gegabah”
“Eh,
iya. Ini salah gua juga yang gak peka sama elu”
“Hehe,
bukan elu yang gak peka Man. Tapi emang gua yang gamu ngasi tanda ke elu. Hal
ini selalu gua simpen dalem ati. Jadi salah gua sendiri”
“Iya
udah, salah bareng bareng deh”
“Hehe
iya”
Pada akhirnya, Naka dengan segala kedewasaannya memilih
untuk tetap menjadi sahabat Boman. Ia tak mau persahabatannya rusak begitu
saja. Sehingga, Naka memilih untuk mengonversikan perasaan sayangnya sebagai
kekasih, menjadi sahabat selamanya. Walaupun kata selamanya adalah kata
retoris, Naka tak peduli. Karena pada dasarnya, perasaan adalah energi. Energi
tak pernah habis ataupun hilang. Hanya bisa dirubah. Naka percaya energi
cintanya yang sementara bisa dirubah menjadi energi lain yang bertahan lebih
lama.
Mereka
akan tetap seperti biasanya untuk waktu mendatang. Walaupun setelah kejadian
beberapa hari yang lalu, persahabatan mereka takkan sama dengan persahabatan
mereka sebelumnya. Tak akan pernah sama
fin
2 comments:
Terlalu klise..
maklum masih newbie. semoga kedepannya lebih baik :D
Posting Komentar